1.DEFINISI APBD
APBD merupakan kependekan dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. APBD adalah anggaran pendapatan dan
belanja daerah setiap tahun yang telah disetujui oleh anggota DPRD (Dewan
perwakilan Rakyat Daerah).
2. Hubungan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah
Dalam era otonomi daerah ini,
bentuk hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah terdiri dari dari:
(1) Desentralisasi;
(2) Dekonsentrasi dan tugas
pembantuan; dan
(3) Pinjaman daerah.
1.Desentralisasi Fiskal
Implikasi langsung dari
kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah adalah kebutuhan dana yang
cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan)
antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi
tanggungjawabnya. Dari sisi keuangan Negara, kebijaksanaan pelaksanaan
desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta
pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Perubahan dimaksud ditandai dengan
makin tingginya transfer dana dari APBN ke daerah. Pada tahun anggaran 2000
(dengan periode 9 bulan), transfer berjumlah Rp34 trilyun dari total belanja
Rp197 trilyun. Dengan kata lain, sekitar sekitar 17% belanja Pemerintah Pusat
ditransfer untuk dikelola oleh Pemerintah Daerah. Jumlah itu meningkat tajam
baik dalam nominal maupun persentase. Pada tahun anggaran 2002 ini, transfer
dalam bentuk dana perimbangan direncanakan Rp 98 trilyun, atau sekitar 29% dari
total belanja APBN.
1.1 Pendapatan Asli Daerah
Salah satu wujud dari
desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah
yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing.
Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan UU 34/2000
yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti
peraturan pelaksanaan-nya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah
dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
1.2 Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan
(Revenue Sharing)
Untuk mengurangi ketimpangan
vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah dilakukan sistem bagi
hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil
penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah
penghasil (by origin). Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi
hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor
kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan.
Bagi hasil penerimaan tersebut
kepada Daerah dengan prosentase tertentu yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun
1999 dan PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah
diubah dengan PP 84 Tahun 2001. Selanjutnya berdasarkan Undang-undang PPh yang
baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari
Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Karyawan
(Pasal 21) serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan
sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi
Daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar
bagi penerimaan negara (APBN). Pola sistem bagi hasil tersebut akan menimbulkan
ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non
penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki
potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas),
pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan
daerah dari PBB, BPHTB, dan PPh Perorangan, dimana potensi yang cukup
signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja.
1.3 Dana Alokasi Umum
Untuk mengurangi ketimpangan dalam
kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi
dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan
bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan
perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah
dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran
yang menjadi tanggungjawabnya. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU
oleh suatu Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan
pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan oleh
kebutuhan Daerah (fiscal needs) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan
pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena
kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan
konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki
kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang
mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif
besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber
daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif. Variabel-variabel kebutuhan Daerah
dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari
variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat
pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin.
Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah
seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB. Untuk menghindari
kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang
sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU disamping menggunakan
formula fiscal gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang. Dalam formula dan
perhitungan DAU TA 2001 (berdasarkan PP Nomor 104/2000) telah dialokasikan DAU
TA 2001 kepada masing-masing Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai
dengan Keppres Nomor 181 Tahun 2000.
1.4 Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian Dana
Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan
kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Alokasi DAK ditentukan
dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU 25/1999,
yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat
diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan
yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan
transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan
jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase
primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional. Konsep
DAK di Indonesia mencakup alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi
yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40% dari penerimaan Dana Reboisasi
(DR) dalam APBN yang diberikan kepada Daerah penghasil. Pengalokasian DAK-DR
tersebut dimaksudkan untuk melibatkan Pemerintah Daerah penghasil DR dalam
kegiatan penghijauan dan reboisasi kawasan hutan di daerahnya, sebagai salah
satu kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR
untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2001 diatur dalam
Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Bappenas Nomor : SE-59/A/2001, Nomor:
SE-720/MENHUT-II/2001, Nomor : 2035/D.IV/05/2001, dan Nomor :
SE-522.4/947/5/BANGDA. Untuk DAK TA 2001 hanya dialokasikan dari Dana Reboisasi
yang berasal dari 40% penerimaan Dana Reboisasi dan diberikan kepada Daerah
Penghasil. Berdasarkan penyesuaian APBN TA 2001, alokasi DAK-Dana Reboisasi
(DAK-DR) semula sebesar Rp900,6 miliar dan menjadi Rp700,6 yang
pengalokasiannya berdasarkan SK Menteri Keuangan No.491/KMK.02/2001 tanggal 6
September 2001. Propinsi yang tidak mendapatkan alokasi DAK-DR TA 2001 adalah
Daerah bukan penghasil yang meliputi propinsi-propinsi yang ada di Pulau Jawa,
Propinsi Lampung, Propinsi Bali, dan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Atas dasar
Keputusan Menteri Keuangan tersebut dan penetapan alokasi oleh Gubernur kepada
Daerah serta Rencana Definitif yang disampaikan Gubernur, Dirjen Anggaran telah
menerbitkan Daftar Alokasi DAK-DR (DA-DAK-DR) yang berlaku sebagai SKO untuk
Kabupaten/Kota dalam wilayah 21 Propinsi penghasil. Sesuai dengan APBN TA 2002
DAK-DR ditetapkan sebesar Rp817,3 miliar. Untuk itu akan dilakukan koordinasi
lebih lanjut dengan pihak Departemen Kehutanan agar segera menyusun Daftar
Alokasi DAK-DR TA 2002 untuk Daerah penghasil.
2. Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Selain dana perimbangan sebagai
konsekuensi langsung dari kebijakan desentralisasi, bentuk lain hubungan keuangan
Pemerintah Pusat dan daerah adalah dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jika
dana perimbangan bisa diartikan sebagai “block grant” atau transfer dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dimana penggunaannya sepenuhnya
diserahkan ke Pemerintah Daerah, bentuk hubungan yang terakhir ini masih
didominsasi oleh Pemerintah Pusat. Dalam hubungan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, Pemerintah Pusat ikut campur tangan langsung atas penggunaannya.
Hubungan ini bisa dikatakan semacam “joint venture” antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah.
2.1 Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan
wewenang Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di
propinsi. Dalam pelaksanaanya, instansi yang melaksanakan adalah dinas propinsi
sebagai perangkat Pemerintah Daerah Propinsi. Latar belakang adanya dekon ini
karena ada kegiatan-kegiatan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat yang harus
dilakukan di daerah. Otonomi daerah “mengharuskan” Pemerintah Pusat menyerahkan
tugas-tugas kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain
seperti diatur dalam pasal 7 ayat 2 UU 22/1999. Karena Pemerintah Pusat sudah
tidak mempunyai instansi vertikal di daerah maka wewenang melaksanakan kegiatan
tersebut dilimpahkan ke daerah. Sesuai dengan pengertiannya, karena wewenang
tersebut sebenarnya merupakan wewenang Pemerintah Pusat, maka pendanaan atas
pelaksanaan wewenang tersebut merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat dan
dengan sendirinya bersumber dari APBN. Sebagai konsekuensinya, jika dikemudian
hari kegiatan menghasilkan pendapatan maka pendapatan itu menjadi hak
Pemerintah Pusat dan dipertanggungjawabkan melalui APBN. Penugasan Pemerintah
Pusat yang dilimpahkan melalui dekonsentrasi antara lain fasilitasi kerja sama
dan penyelesaian perselisihan antar Daerah dalam wilayah kerjanya, penciptaan
dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum, pembinaan penyelenggaraan
tugas-tugas umum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan sebagainya. Dalam
perkembangannya, hingga saat ini bentuk hubungan dekonsentrasi ini belum dapat
benar-benar dilaksanakan. Pemerintah Pusat melalui departemen teknis masih
melakukan kewenangannya dengan apa yang disebut Unit Pelaksana Teknis/UPT yang
ada di daerah. Alasan untuk “memaklumi” hal tersebut memang ada di antara dua
hal ini, yaitu daerah yang masih belum siap atau ketidaksiapan departemen
teknis untuk menyerahkan wewenang itu.
2.2Tugas Pembantuan
Walaupun terpisah, bisa dikatakan
bahwa bentuk hubungan tugas pembantuan mirip dengan dekonsentrasi, hanya yang
menjadi sasaran Pemerintah Pusat ini adalah Pemerintah Daerah dan Desa serta
sifatnya bukan pelimpahan kewenangan tapi penugasan. Disamping itu, pihak yang
memberikan tugas pembantuan tidak terbatas dari Pemerintah Pusat tapi bisa
berasal dari tingkatan pemerintah di atasnya seperti dari Pemerintah Propinsi
ke Kabupaten atau Kabupaten ke Desa. Dalam hal kewenangan yang dilaksanakan
oleh Pemda/Desa berasal dari Pemerintah Pusat, maka dana yang digunakan untuk
membiayai kegiatan dimaksud berasal dari APBN. Sebagai akibatnya, bilamana ada
pendapatan yang berasal dari kegiatan tersebut, maka pendapatan itu juga harus
mengalir ke Pemerintah Pusat. Seperti halnya dengan dekonsentrasi, pelaksanaan
tugas pembantuan hingga saat ini belum berjalan sesuai dengan amanat PP
106/2000.
3.3. Pinjaman Daerah
Bentuk hubungan yang terakhir ini
berbeda dengan dua bentuk di atas dalam hal sumber pembiayaannya. Untuk
membiayai kebutuhan Daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang dapat
menghasilkan (pengeluaran modal), Daerah dapat melakukan pinjaman baik dari
dalam negeri (Pemerintah Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri
dengan persetujuan dan melalui Pusat. Sumber pinjaman bisa berasal dari sumber
di luar keuangan negara, yaitu jika pinjaman berasal dari lembaga swasta atau
masyarakat langsung. Penggunaan : ?? Pinjaman jangka panjang digunakan
membiayai pembangunan prasarana yang akan menjadi aset Daerah. Selain
memberikan manfaat bagi pelayanan umum, diharapkan aset itu juga dapat
menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman. ?? Pinjaman jangka pendek,
hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas Daerah yang sifatnya hanya
untuk membantu likuiditas. Kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri
(penerusan pinjaman) dalam kerangka desentralisasi fiskal saat ini merupakan
permasalahan yang mendesak dan perlu segera diselesaikan, mengingat hal-hal
berikut : ?? Sebagian besar perjanjian pinjaman luar negeri untuk Pemerintah
Daerah telah ditandatangani, namun belum dapat disalurkan karena mekanisme-nya
belum diatur secara jelas; ?? Sebagian proyek-proyek pinjaman sedang berjalan
(on-going); ?? Mekanisme untuk repayment/disbursement terhadap pokok pinjaman,
bunga dan resiko terhadap perubahan nilai kurs (foreign ex-change risk) belum
diatur secara rinci; ?? Jaminan terhadap pinjaman daerah masih belum jelas; ??
Akuntabilitas terhadap pemanfaatan pinjaman daerah belum jelas. Guna
penyelesaian permasalahan on-lending, Pemerintah segera mengantisipasi dengan
mengambil langkah-langkah penyelesaian berikut: ?? Merumuskan kebijakan
Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri dalam kerangka desentralisasi fiskal;
dan ?? Menyusun “mapping” kapasitas Daerah untuk melakukan pinjaman. Berkenaan
dengan hal-hal tersebut di atas, Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
bersama Ditjen Anggaran dan Ditjen Lembaga Keuangan sedang melakukan pembahasan
dengan instansi-instansi terkait guna merumuskan kebijakan mengenai on-lending,
dan menyampaikan konsep kebijakan tersebut kepada Menteri Keuangan untuk
mendapat penetapan.
4. Pengelolaan Keuangan Daerah
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam upaya
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari UU
22/1999 dan UU 25/1999 bukan sekedar keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan
pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih
penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan pelayanan kepada masyarakat. Semangat desentralisasi, demokratisasi,
transparansi, dan akuntabilitas harus acuan dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah
pada khususnya. Sebagai penjabaran dari UU 25/1999 dalam bidang pengelolaan
keuangan daerah, pemerintah mengeluarkan PP 105/2000 yang antara lain
menjelaskan:
(1) APBD merupakan dasar pengelolaan
keuangan Daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan
penggunaan dana Pemda;
(2) Struktur APBD disusun dengan
pendekatan kinerja, yang memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja,
standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan
yang bersangkutan, bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi
umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan;
(3) Kepala Daerah menyusun laporan
pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang terdiri atas Laporan Perhitungan APBD,
Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah.
Untuk memudahkan derah
melaksanakan amanat PP 105/2000 dimaksud, saat ini sedang dilakukan penyusunan
pedoman pengelolaan keuangan daerah. Pedoman-pedoman tersebut meliputi : ??
Standar Akuntansi Pemerintah (untuk Pusat dan Daerah), saat ini sedang
disiapkan perangkat hukum kelembagaannya yaitu Dewan Standar Akuntansi Sektor
Publik, yang anggotanya terdiri dari Departemen Keuangan, Departemen Dalam
Negeri, Pemda, Perguruan Tinggi, dan IAI. ?? Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah
(SAPD), draft awalnya sudah ada dan sudah dapat diakses di situs internet :
www.djpkpd.go.id\. SAPD dimaksud disusun bersama oleh Departemen Keuangan
(Ditjen PKPD sebagai Ketua Tim, BAKUN, BINTEK), BPKP, Depdagri dan Otda, serta
para pakar lainnya. Tim dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
: 355/KMK.07/2001 tentang Tim Evaluasi dan Pemantapan Pelaksanaan Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah tanggal 5 Juni 2001. Salah satu Pokjanya yaitu Pokja
Evaluasi Pembiayaan dan Informasi Keuangan Daerah bertugas untuk menyusun SAPD
dimaksud. Draft SAPD yang disusun berbasis double entry (untuk menggantikan sistem
single entry yang selama ini digunakan oleh Pemda), bentuk APBD I-account dan
berbasis kinerja, . terdiri dari : pedoman penyusunan laporan
pertanggungjawaban keuangan, kebijakan umum, pos-pos neraca, pos-pos
perhitungan anggaran dan prosedur akuntansi. Dalam kaitan pembentukan neraca,
dipandang cukup mendesak untuk melakukan pembukuan pelaksanaan anggaran dengan
model double entry, ?? SAPD ini juga akan dikembangkan dalam bentuk aplikasi
komputer yang akan dilakukan bersama BINTEK Keuangan. Pengembangan aplikasi ini
dimaksudkan untuk memberikan akses terhadap sistem informasi keuangan daerah
(SIKD) yang diharapkan menjadi sarana untuk mengintegrasikan seluruh data
keuangan pemerintah daerah beserta data pendukungnya.
5. Pemikiran ke Depan tentang Pelaksanaan Desentralisasi
Fiskal Meskipun perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah telah
disempurnakan sejalan dengan paradigma baru yang berkembang dewasa ini (UU
Nomor 25 Tahun 1999) dan mengingat Indonesia tergolong negara dalam usia yang
relatif muda, kita harus banyak belajar dari sukses dan kegagalan negara-negara
lain khususnya negara maju. Oleh karena itu sistem disentralisasi fiskal yang
baru, masih memerlukan peninjauan secara teratur untuk menjamin kepekaannya
terhadap perubahan-perubahan baik yang menyangkut aspek sosial, politik,
ketatanegaraan, ekonomi dalam negeri, maupun pengaruh globalisasi politik dan
ekonomi dunia. Tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat:
1. meningkatkan efisiensi
pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan Pemerintah Daerah;
2. dapat memenuhi aspirasi dari
Daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara
regional maupun nasional;
3. meningkatkan akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat
Daerah;
4. memperbaiki keseimbangan fiskal
antar Daerah dan memastikan adanya pelayanan masyarakat yang berkualitas di
setiap Daerah;
5. menciptakan kesejahteraan sosial
bagi masyarakat.
Dalam pelaksanaan desentralisasi
fiskal diperlukan keberadaan Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan
pengawasan dan enforcement. Prinsip money follows function harus dilaksanakan
secara konsisten dan secara eksplisit tertuang didalam pasal-pasal baik pada
revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun revisi UU Nomor 25 Tahun 1999. Hal ini
untuk menghindari terjadinya transfer sumber keuangan yang sudah dikuasai oleh
Daerah tetapi tidak diikuti oleh tugas desentralisasi yang menjadi tanggung
jawab Daerah (seperti yang diungkapkan oleh Roy Bahl, 2001 “Fix the Assigment of
Expenditure, then Assign Revenues in amount that will Correspond to the
Expenditure Needs”) Desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan kebijakan
fiskal khususnya untuk mendukung kebijakan makro ekonomi antara lain yang
berkaitan dengan
fiscal sustainability dan tetap
memberikan ruang bagi Pemerintah Pusat untuk mengadakan koreksi atas
ketimpangan antar Daerah, sehingga taxing power yang diberikan kepada Daerah
tetap tidak terlalu besar . Dengan gambaran consolidated revenues (APBD
Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN), porsi PAD
hanya sebesar 5,30% tergolong sangat sentralistis (sebagai perbandingan
masing-masing untuk Developing Countries, Transition Countries, dan OECD
Countries rata-rata sebesar 9,27%, 16,59%, dan 19,13%. Untuk itu perlu
dicarikan upaya untuk meningkatkan taxing power Daerah antara lain melalui
penyerahan beberapa pajak Pusat kepada Daerah, penyerahan sebagian PNBP kepada
Daerah dan lain-lain kebijakan Sharing Tax atau Piggy Backing System. Kebijakan
ini sekaligus untuk menghilangkan upaya Daerah untuk menggali sumber-sumber PAD
yang berdampak distortif terhadap perekonomian.
Terdapat keseimbangan antara
akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi
Daerah (taxing power), sehingga penyimpangan penggunaan anggaran Daerah
terutama yang berupa transfer dari Pusat dapat diperkecil atau bahkan
ditiadakan. Pemerintah Pusat harus tetap mempertahankan komitmennya terhadap
pelaksanaan desentralisasi dengan mematuhi perundang-undangan yang berlaku,
sehingga kegiatan-kegiatan dalam rangka desentralisasi sepenuhnya kewenangan
diberikan kepada Daerah. Bantuan Pemerintah Pusat yang berbentuk general grants
(DAU) maupun revenue sharing (bagi hasil) diarahkan untuk (i) penciptaan
keseimbangan fiskal baik vertikal maupun horizontal; (ii) menumbuhkan insentif
dan/atau adanya kendali bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan segala
fungsi/ kewenangan yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik. Sementara untuk
specific grants (DAK) diarahkan kepada pemberian insentif kepada Pemerintah
Daerah untuk turut mensukseskan program-program nasional yang bersifat
prioritas. Konsep perhitungan DAU harus mengacu pada konsep Fiscal Gap
(Kebutuhan Daerah – Kapasitas Daerah), dimana kebutuhan Daerah diukur dengan
pendekatan pengukuran Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Analisa
Belanja (SAB) masing-masing Daerah.
3. Hubungan antara Pemerintah
Pusat dengan daerah otonom
Hubungan
antara Pemerintah Pusat dengan daerah otonom diatur dengan cara-cara tertentu
yang diatur dengan undang-undang. Dalam hal ini adalah UU No. 32 Tahun 2004
Tentang pemerintahan Daerah beserta peraturan pelaksanaannya.
1.
Hubungan dalam pengaturan organisasi perangkat daerah Sebagaimana diketahui
bentuk Negara Indonesia tercantum di dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945, yang
penyelenggaraannya melalui ketentuan Pasal 18 ayat (1). Atas dasar ketentuan
tersebut dapat diketahui bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan
menggunakan sistem desentralisasi, dengan demikian terdapat pemencaran kekuasaan
dari pusat kedaerah baik menurut asas otonomi, tugas pembantuan dan
dekonsentrasi. Berdasarkan kenyataan itu, antara pusat dan daerah akan terjadi
hubungan antara lain hubungan kelembagaan, hubungan tersebut dalam praktek
terlihat misalnya pada pengaturan organisasi perangkat daerah dan pemekaran
daerah.
2.
Kepala daerah Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan pada Setiap daerah
dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah, Kepala
daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan
untuk kota disebut walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala
daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil
bupati dan untuk kota disebut wakil walikota.
3.
Hubungan Kepala Daerah dengan Pemerintah Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Hubungan
organisasi perangkat daerah antara pemerintah dengan pemerintah daerah terdapat
dalam hal melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah dan wakil kepala daerah
mempunyai kewajiban menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di
daerah dan semua perangkat daerah (Pasal 27 Ayat (1)). Kepala Daerah juga
mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
daerah kepada Pemerintah Pasal 27 Ayat (2), pada Ayat (3) dikatakan Laporan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah dimaksud disampaikan
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1
(satu) tahun.
4.
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat Gubernur yang karena jabatannya
berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang
bersangkutan. Dalam kedudukannya tersebut Gubernur bertanggung jawab kepada
Presiden. Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pusat di daerah, memiliki
tugas dan wewenang dalam hal a) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/kota; b) koordinasi penyelenggaraan urusan
Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c) koordinasi pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan
kabupaten/kota.
5. DPRD
Konsep perwakilan politik lokal terkait dengan sistem pemerintahan yang
dipraktikkan suatu Negara. Konsep perwakilan politik lokal merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi, artinya, keterlibatan masyarakat
secara langsung dan tidak langsung ikut menentukan urusan urusan rumah tangga
daerahnya.
6.
Perangkat Daerah Keberadaan perangkat daerah dijumpai pada Pasal 1 Angka 3 dan
Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2004 yang pelaksanaannya melalui PP No. 41 Tahun
2007.
7.Hubungan
dalam pembentukan daerah (pemekaran dan pembubaran daerah) Hubungan kelembagaan
lainnya terdapat dalam pembentukan daerah (pemekaran dan pembubaran daerah).
Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 menganut desentralisasi teritorial sehingga akan
dibentuk daerah-daerah baik Provinsi, Kabupaten dan Kota dengan UU.
8.Pengaturan
Pemekaran Daerah dalam Peraturan Perundang-undangan Berbicara tentang
pengaturan pemekaran daerah, sebenarnya tidak ada peraturan perundang-undangan
yang secara khusus mengatur hal tersebut.
No comments:
Post a Comment