Sunday 1 November 2015

Documents : Pasar Komoditas ( Barang )

PASAR BARANG
1. Pengertian dan Cara Perdagangan Pasar Barang
Pasar barang atau pasar komoditas adalah interaksi antara permintaan dan penawaran terhadap barang dan jasa. Dalam perekonomian tertutup, permintaan utama berasal dari sektor rumah tangga dan pemerintah. Permintaan tersebut umumnya merupakan permintaan akan barang dan jasa akhir. Penawaran barang dan jasa berasal dari sektor perusahaan.
Di dalam perekonomian modern, terutama dengan semakin tingginya tingkat spesialisasi, tidak semua perusahaan memproduksi sendiri bahan baku yang dipakai untuk memproduksi barang dan jasa. Sebagai contoh, perusahaan mobil tidak menambang sendiri bijih besi yang dibutuhkan, demikian juga fasilitas mesin pembuat rangka mobilnya karena akan lebih eļ¬sien bagi perusahaan tersebut jika membeli mesin dari perusahaan yang bergerak di bidang permesinan. Dengan kata lain, mesin yang dibeli perusahaan tersebut merupakan input perantara untuk memproduksi mobil. Beberapa komoditas yang umumnya diperjualbelikan di pasar komoditas memiliki standar tertentu, antara lain barang-barang hasil produksi dan industri, hasil pertambangan, hasil pertanian dan perkebunan. Komoditas tersebut antara lain kopi, gula, jagung, cengkeh, kedelai, emas, tembaga, kapas, lada, gandum, dan minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO).

2. Keanggotaan Pasar Komoditas
Anggota pasar komoditas secara garis besar terdiri atas dua, yaitu anggota biasa dan anggota luar biasa.

3. Perdagangan di Pasar Komoditas              
Perdagangan di pasar komoditas dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Perdagangan Fisik (Physical Trading) yang Bersifat Efektif
b. Perdagangan Berjangka (Future Trading) yang Bersifat Spekulatif

4. Fungsi dan Manfaat Pasar Komoditas

a. Fungsi Pasar Komoditas
Fungsi  pasar komoditas antara lain sebagai berikut.
1) Sebagai tempat atau sarana untuk memperoleh informasi tentang beberapa jenis barang yang diperdagangkan di pasar dunia.
2) Sebagai tempat atau sarana untuk mengadakan transaksi berbagai barang yang berlaku di pasaran dunia.
3) Sebagai tempat atau sarana untuk memantau dan mengatur perdagangan barang.
b. Manfaat Pasar Komoditas

Manfaat pasar komoditas antara lain sebagai berikut.
1) Bagi Penjual (Produsen) Pasar barang dapat mempermudah pemasaran atau penjualannya.
2) Bagi Pembeli (Konsumen)
 Pasar barang dapat mempermudah konsumen dalam mendapatkan
barang yang diinginkan dengan kualitas terjamin.
3) Bagi Pemerintah
Pembentukan pasar barang bagi pemerintah dapat memberikan tambahan devisa. Dengan devisa akan memudahkan pemerintah untuk melakukan berbagai transaksi internasional yang dapat meningkatkan pendapatan nasional.

Perdagangan Komoditas

Resiko dalam perdagangan Komoditas, selain dari gagal janji, disebabkan oleh fluktuasi harga. Harga sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasar Komoditas. Permintaan ditentukan oleh pertambahan penduduk, pertambahan penggunaan, penggunaan baru dan karena substitusi. Penawaran beribah karena pertambahan kapasitas produksi (luas lahan yang ditanam atau pabrik baru yang dibangun), musim, cuaca baik atau buruk, larangan atau insentip pemerintah, bencana alam maupun perang atau perdamaian. Jadi banyak sekali faktor yang tidak bisa diramalkan. Hal inilah yang mendorong timbulnya kebutuhan akan lindung nilai. Kebutuhan akan lindung nilai dipenuhi dengan pembuatan kontrak di LUAR mau di DALAM Bursa. Mula-mula kebutuhan akan lindung nilai ini hanya dirasakan dalam perdagangan Komoditas pertanian , tetapi makin lama kebutuhan itu dirasakan untuk semua macam Komoditas, termasuk Komoditas keuangan, cuaca, ekonomi, perbankan dlsbnya
Untuk semua itu dibuatkan kontrak. Beberapa dari kontrak itu diperdagangkan di bursa yang terlanjur dinamakan Bursa Komoditas, meski sebenarnya dinamakan Bursa Kontrak.
Perdagangan kontrak Komoditas dilakukan dibursa (kontrak) Komoditas di berbagai negara misalnya di :
·         London Commodity Exchange yang sekarang bernama Euronext LIFFE
·         New York Board of Trade (NYBOT)
·         Chicago Board of Trade yang sekarang sudah disatukan dengan CME
·         Winnipeg Commodity Exchange
·         London Metal Exchange
·         Chicago Mercantile Exchange
·         Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange-JFX)
·  Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI)(Indonesian Commodity and Derivatives Exchange-ICDX)
Pada pasar/bursa komoditi dilihat dari sisi penyelenggarakan perdagangan dapat dibedakan menjadi dua macam pasar, yaitu:
a.    Pasar fisik, adalah suatu kegiatan perdagangan yang penyerahan barang dagangan dari penjual kepada pembeli biasanya dilakukan segera setelah transaksi atau ada penyerahan barang secara tunai. Pada pasar fisik terjadi transaksi efektif. Transaksi efektif menunjuk pada suatu transaksi jual beli di bursa yang di akhiri dengan penyerahan barang dagangan dari penjual kepada pembeli secara nyata.
b.    Pasar komoditi berjangka adalah suatu kegiatan perdagangan dalam hal ini yang diperdagangkan adalah surat kontrak yang mewakili barang yang disimpan di gudang. Pada pasar ini setelah terjadi transaksi tidak segera diikuti dengan penyerahan barang. Biasanya penyerahan barang dilakukan kemudian atau beberapa waktu bahkan beberapa bulan kemudian sesuai dengan perjanjian. Pada pasar komoditi berjangka motif utama transaksi seringkali hanya spekulatif bukan merupakan transaksi jual beli secara murni. Pada transaksi dengan motif sepekulasi yang lebih dominan, maka transaksi tidak diakhiri dengan penyerahan barang, karena tujuannya bukan menyelesaikan persetujuan dagang dengan serah terima barang, melainkan pembayaran dan penerimaan dari adanya perbedaan harga.
Berdasarkan UU No.32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, perdagangan berjangka adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli komoditi dengan penyerahan kemudian berdasarkan Kontrak Berjangka dan Opsi atas Kontrak Berjangka.Perdagangan berjangka disebut Bursa Berjangka, yang selanjutnya sering disebut dengan Bursa yang memperdagangkan Kontrak Berjangka berbagai komoditi. Tempat untuk memperdagangkan Kontrak Berjangka juga disebut pasar berjangka.


Documents : Penerimaan Negara

Penerimaan negara adalah jumlah pendapatan suatu negara yang berasal dari penerimaan negara dari pajak, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.
2.Penerimaan Pemerintah
a. Penerimaan Negara dan Hibah
- Penerimaan Dalam Negeri 
–  Penerimaan perpajakan 
–  Penerimaan bukan pajak (PNBP) 
–  Bagian laba BUMN 
–  Lain-lain penerimaan yang sah 
b. Penerimaan Pembiayaan
- Pinjaman sektor Perbankan 
- Pinjaman luar negeri 
- Penjualan Obligasi Pemerintah 
- Privatisasi BUMN 
- Penjualan aset pemerintah
3. Sumber penerimaan negara dikatakan edeal apabila mempunyai:
y Fungsi budgeter: dapat menjamin penerimaan negara (ajeg /berkesinambungan) dan pemasukan uang yang selalu meningkat
y Fungsi reguler: dapat mengatur distribusi, pemerataan dan kesempatan kerja
4. Klasifikasi Pajak dapat dibagi berdasarkan golongan, sifat, dan lembaga pemungut.
Klasifikasi pajak berdasarkan golongan :
·       Pajak langsung : pajak yang harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan kepada pihak lain. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh).
·       Pajak tidak langsung : pajak yang dapat dibebankan kepada pihak lain. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Klasifikasi pajak berdasarkan sifat :
·       Pajak subjektif : pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak tanpa memperhatikan objek pajak. Contohnya adalah PPh.
·       Pajak objektif : pajak yang dikenakan terhadap objek pajak tanpa memperhatikan subjek pajak. Contohnya adalah PPN.

Klasifikasi pajak berdasarkan lembaga pemungut :
·       Pajak daerah : pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran daerah. Contohnya adalah : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
·       Pajak pusat : pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Contohnya adalah : Pajak Penghasilan (UU No. 36 Tahun 2008), Pajak Pertambahan Nilai (UU No. 42 Tahun 2009), Bea Meterai (UU No.13 Tahun 1985), Bea Masuk atau Kepabeanan (UU No. 17 Tahun 2006), dan Cukai (UU No.39 Tahun 2007).

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP)

Pada dasarnya, penerimaan negara terbagi atas 2 jenis penerimaan, yaitu penerimaan dari pajak dan penerimaan bukan pajak yang disebut penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Menurut UU no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.



UU tersebut juga menyebutkan kelompok PNBP meliputi:
a.       penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;
b.      penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;
c.       penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;
d.      penerimaan dari pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah
e.       penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;
f.       penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah
g.      penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri
Kecuali jenis PNBP yang ditetapkan dengan Undang-undang, jenis PNBP yang tercakup dalam kelompok sebagaimana terurai diatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya diluar jenis PNBP terurai diatas, dimungkinkan adanya PNBP lain melalui UU.


Documents : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

1.DEFINISI APBD  
APBD merupakan kependekan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. APBD adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahun yang telah disetujui oleh anggota DPRD (Dewan perwakilan Rakyat Daerah).
2. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam era otonomi daerah ini, bentuk hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah terdiri dari dari:
(1)   Desentralisasi;
(2)   Dekonsentrasi dan tugas pembantuan; dan
(3)   Pinjaman daerah.
1.Desentralisasi Fiskal
Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Dari sisi keuangan Negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari APBN ke daerah. Pada tahun anggaran 2000 (dengan periode 9 bulan), transfer berjumlah Rp34 trilyun dari total belanja Rp197 trilyun. Dengan kata lain, sekitar sekitar 17% belanja Pemerintah Pusat ditransfer untuk dikelola oleh Pemerintah Daerah. Jumlah itu meningkat tajam baik dalam nominal maupun persentase. Pada tahun anggaran 2002 ini, transfer dalam bentuk dana perimbangan direncanakan Rp 98 trilyun, atau sekitar 29% dari total belanja APBN.
1.1 Pendapatan Asli Daerah
Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan UU 34/2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaan-nya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
1.2 Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing)
Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin). Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan.
Bagi hasil penerimaan tersebut kepada Daerah dengan prosentase tertentu yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 dan PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan PP 84 Tahun 2001. Selanjutnya berdasarkan Undang-undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Karyawan (Pasal 21) serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi Daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Pola sistem bagi hasil tersebut akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari PBB, BPHTB, dan PPh Perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja.
1.3 Dana Alokasi Umum
Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Propinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan oleh kebutuhan Daerah (fiscal needs) dan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah/gap yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dapat memperoleh DAU yang negatif. Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB. Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU disamping menggunakan formula fiscal gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang. Dalam formula dan perhitungan DAU TA 2001 (berdasarkan PP Nomor 104/2000) telah dialokasikan DAU TA 2001 kepada masing-masing Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan Keppres Nomor 181 Tahun 2000.
1.4 Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU 25/1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen/prioritas nasional. Konsep DAK di Indonesia mencakup alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40% dari penerimaan Dana Reboisasi (DR) dalam APBN yang diberikan kepada Daerah penghasil. Pengalokasian DAK-DR tersebut dimaksudkan untuk melibatkan Pemerintah Daerah penghasil DR dalam kegiatan penghijauan dan reboisasi kawasan hutan di daerahnya, sebagai salah satu kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pedoman Umum Pengelolaan DAK-DR untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2001 diatur dalam Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Bappenas Nomor : SE-59/A/2001, Nomor: SE-720/MENHUT-II/2001, Nomor : 2035/D.IV/05/2001, dan Nomor : SE-522.4/947/5/BANGDA. Untuk DAK TA 2001 hanya dialokasikan dari Dana Reboisasi yang berasal dari 40% penerimaan Dana Reboisasi dan diberikan kepada Daerah Penghasil. Berdasarkan penyesuaian APBN TA 2001, alokasi DAK-Dana Reboisasi (DAK-DR) semula sebesar Rp900,6 miliar dan menjadi Rp700,6 yang pengalokasiannya berdasarkan SK Menteri Keuangan No.491/KMK.02/2001 tanggal 6 September 2001. Propinsi yang tidak mendapatkan alokasi DAK-DR TA 2001 adalah Daerah bukan penghasil yang meliputi propinsi-propinsi yang ada di Pulau Jawa, Propinsi Lampung, Propinsi Bali, dan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Atas dasar Keputusan Menteri Keuangan tersebut dan penetapan alokasi oleh Gubernur kepada Daerah serta Rencana Definitif yang disampaikan Gubernur, Dirjen Anggaran telah menerbitkan Daftar Alokasi DAK-DR (DA-DAK-DR) yang berlaku sebagai SKO untuk Kabupaten/Kota dalam wilayah 21 Propinsi penghasil. Sesuai dengan APBN TA 2002 DAK-DR ditetapkan sebesar Rp817,3 miliar. Untuk itu akan dilakukan koordinasi lebih lanjut dengan pihak Departemen Kehutanan agar segera menyusun Daftar Alokasi DAK-DR TA 2002 untuk Daerah penghasil.
2. Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Selain dana perimbangan sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan desentralisasi, bentuk lain hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan daerah adalah dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Jika dana perimbangan bisa diartikan sebagai “block grant” atau transfer dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah dimana penggunaannya sepenuhnya diserahkan ke Pemerintah Daerah, bentuk hubungan yang terakhir ini masih didominsasi oleh Pemerintah Pusat. Dalam hubungan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, Pemerintah Pusat ikut campur tangan langsung atas penggunaannya. Hubungan ini bisa dikatakan semacam “joint venture” antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
2.1 Dekonsentrasi
Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di propinsi. Dalam pelaksanaanya, instansi yang melaksanakan adalah dinas propinsi sebagai perangkat Pemerintah Daerah Propinsi. Latar belakang adanya dekon ini karena ada kegiatan-kegiatan yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat yang harus dilakukan di daerah. Otonomi daerah “mengharuskan” Pemerintah Pusat menyerahkan tugas-tugas kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain seperti diatur dalam pasal 7 ayat 2 UU 22/1999. Karena Pemerintah Pusat sudah tidak mempunyai instansi vertikal di daerah maka wewenang melaksanakan kegiatan tersebut dilimpahkan ke daerah. Sesuai dengan pengertiannya, karena wewenang tersebut sebenarnya merupakan wewenang Pemerintah Pusat, maka pendanaan atas pelaksanaan wewenang tersebut merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat dan dengan sendirinya bersumber dari APBN. Sebagai konsekuensinya, jika dikemudian hari kegiatan menghasilkan pendapatan maka pendapatan itu menjadi hak Pemerintah Pusat dan dipertanggungjawabkan melalui APBN. Penugasan Pemerintah Pusat yang dilimpahkan melalui dekonsentrasi antara lain fasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antar Daerah dalam wilayah kerjanya, penciptaan dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum, pembinaan penyelenggaraan tugas-tugas umum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan sebagainya. Dalam perkembangannya, hingga saat ini bentuk hubungan dekonsentrasi ini belum dapat benar-benar dilaksanakan. Pemerintah Pusat melalui departemen teknis masih melakukan kewenangannya dengan apa yang disebut Unit Pelaksana Teknis/UPT yang ada di daerah. Alasan untuk “memaklumi” hal tersebut memang ada di antara dua hal ini, yaitu daerah yang masih belum siap atau ketidaksiapan departemen teknis untuk menyerahkan wewenang itu.
2.2Tugas Pembantuan
Walaupun terpisah, bisa dikatakan bahwa bentuk hubungan tugas pembantuan mirip dengan dekonsentrasi, hanya yang menjadi sasaran Pemerintah Pusat ini adalah Pemerintah Daerah dan Desa serta sifatnya bukan pelimpahan kewenangan tapi penugasan. Disamping itu, pihak yang memberikan tugas pembantuan tidak terbatas dari Pemerintah Pusat tapi bisa berasal dari tingkatan pemerintah di atasnya seperti dari Pemerintah Propinsi ke Kabupaten atau Kabupaten ke Desa. Dalam hal kewenangan yang dilaksanakan oleh Pemda/Desa berasal dari Pemerintah Pusat, maka dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan dimaksud berasal dari APBN. Sebagai akibatnya, bilamana ada pendapatan yang berasal dari kegiatan tersebut, maka pendapatan itu juga harus mengalir ke Pemerintah Pusat. Seperti halnya dengan dekonsentrasi, pelaksanaan tugas pembantuan hingga saat ini belum berjalan sesuai dengan amanat PP 106/2000.



3.3. Pinjaman Daerah
Bentuk hubungan yang terakhir ini berbeda dengan dua bentuk di atas dalam hal sumber pembiayaannya. Untuk membiayai kebutuhan Daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), Daerah dapat melakukan pinjaman baik dari dalam negeri (Pemerintah Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan dan melalui Pusat. Sumber pinjaman bisa berasal dari sumber di luar keuangan negara, yaitu jika pinjaman berasal dari lembaga swasta atau masyarakat langsung. Penggunaan : ?? Pinjaman jangka panjang digunakan membiayai pembangunan prasarana yang akan menjadi aset Daerah. Selain memberikan manfaat bagi pelayanan umum, diharapkan aset itu juga dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman. ?? Pinjaman jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas Daerah yang sifatnya hanya untuk membantu likuiditas. Kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri (penerusan pinjaman) dalam kerangka desentralisasi fiskal saat ini merupakan permasalahan yang mendesak dan perlu segera diselesaikan, mengingat hal-hal berikut : ?? Sebagian besar perjanjian pinjaman luar negeri untuk Pemerintah Daerah telah ditandatangani, namun belum dapat disalurkan karena mekanisme-nya belum diatur secara jelas; ?? Sebagian proyek-proyek pinjaman sedang berjalan (on-going); ?? Mekanisme untuk repayment/disbursement terhadap pokok pinjaman, bunga dan resiko terhadap perubahan nilai kurs (foreign ex-change risk) belum diatur secara rinci; ?? Jaminan terhadap pinjaman daerah masih belum jelas; ?? Akuntabilitas terhadap pemanfaatan pinjaman daerah belum jelas. Guna penyelesaian permasalahan on-lending, Pemerintah segera mengantisipasi dengan mengambil langkah-langkah penyelesaian berikut: ?? Merumuskan kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri dalam kerangka desentralisasi fiskal; dan ?? Menyusun “mapping” kapasitas Daerah untuk melakukan pinjaman. Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, bersama Ditjen Anggaran dan Ditjen Lembaga Keuangan sedang melakukan pembahasan dengan instansi-instansi terkait guna merumuskan kebijakan mengenai on-lending, dan menyampaikan konsep kebijakan tersebut kepada Menteri Keuangan untuk mendapat penetapan.
4. Pengelolaan Keuangan Daerah
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari UU 22/1999 dan UU 25/1999 bukan sekedar keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas harus acuan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah pada khususnya. Sebagai penjabaran dari UU 25/1999 dalam bidang pengelolaan keuangan daerah, pemerintah mengeluarkan PP 105/2000 yang antara lain menjelaskan:
(1)   APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan Daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan dana Pemda;
(2)   Struktur APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yang memuat sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja, standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan, bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan;
(3)   Kepala Daerah menyusun laporan pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang terdiri atas Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah.
Untuk memudahkan derah melaksanakan amanat PP 105/2000 dimaksud, saat ini sedang dilakukan penyusunan pedoman pengelolaan keuangan daerah. Pedoman-pedoman tersebut meliputi : ?? Standar Akuntansi Pemerintah (untuk Pusat dan Daerah), saat ini sedang disiapkan perangkat hukum kelembagaannya yaitu Dewan Standar Akuntansi Sektor Publik, yang anggotanya terdiri dari Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Pemda, Perguruan Tinggi, dan IAI. ?? Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD), draft awalnya sudah ada dan sudah dapat diakses di situs internet : www.djpkpd.go.id\. SAPD dimaksud disusun bersama oleh Departemen Keuangan (Ditjen PKPD sebagai Ketua Tim, BAKUN, BINTEK), BPKP, Depdagri dan Otda, serta para pakar lainnya. Tim dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 355/KMK.07/2001 tentang Tim Evaluasi dan Pemantapan Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah tanggal 5 Juni 2001. Salah satu Pokjanya yaitu Pokja Evaluasi Pembiayaan dan Informasi Keuangan Daerah bertugas untuk menyusun SAPD dimaksud. Draft SAPD yang disusun berbasis double entry (untuk menggantikan sistem single entry yang selama ini digunakan oleh Pemda), bentuk APBD I-account dan berbasis kinerja, . terdiri dari : pedoman penyusunan laporan pertanggungjawaban keuangan, kebijakan umum, pos-pos neraca, pos-pos perhitungan anggaran dan prosedur akuntansi. Dalam kaitan pembentukan neraca, dipandang cukup mendesak untuk melakukan pembukuan pelaksanaan anggaran dengan model double entry, ?? SAPD ini juga akan dikembangkan dalam bentuk aplikasi komputer yang akan dilakukan bersama BINTEK Keuangan. Pengembangan aplikasi ini dimaksudkan untuk memberikan akses terhadap sistem informasi keuangan daerah (SIKD) yang diharapkan menjadi sarana untuk mengintegrasikan seluruh data keuangan pemerintah daerah beserta data pendukungnya.

5. Pemikiran ke Depan tentang Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Meskipun perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah telah disempurnakan sejalan dengan paradigma baru yang berkembang dewasa ini (UU Nomor 25 Tahun 1999) dan mengingat Indonesia tergolong negara dalam usia yang relatif muda, kita harus banyak belajar dari sukses dan kegagalan negara-negara lain khususnya negara maju. Oleh karena itu sistem disentralisasi fiskal yang baru, masih memerlukan peninjauan secara teratur untuk menjamin kepekaannya terhadap perubahan-perubahan baik yang menyangkut aspek sosial, politik, ketatanegaraan, ekonomi dalam negeri, maupun pengaruh globalisasi politik dan ekonomi dunia. Tujuan umum pelaksanaan desentralisasi fiskal harus dapat:
1.      meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan Pemerintah Daerah;
2.      dapat memenuhi aspirasi dari Daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional;
3.      meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat Daerah;
4.      memperbaiki keseimbangan fiskal antar Daerah dan memastikan adanya pelayanan masyarakat yang berkualitas di setiap Daerah;
5.      menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal diperlukan keberadaan Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement. Prinsip money follows function harus dilaksanakan secara konsisten dan secara eksplisit tertuang didalam pasal-pasal baik pada revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun revisi UU Nomor 25 Tahun 1999. Hal ini untuk menghindari terjadinya transfer sumber keuangan yang sudah dikuasai oleh Daerah tetapi tidak diikuti oleh tugas desentralisasi yang menjadi tanggung jawab Daerah (seperti yang diungkapkan oleh Roy Bahl, 2001 “Fix the Assigment of Expenditure, then Assign Revenues in amount that will Correspond to the Expenditure Needs”) Desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan kebijakan fiskal khususnya untuk mendukung kebijakan makro ekonomi antara lain yang berkaitan dengan
fiscal sustainability dan tetap memberikan ruang bagi Pemerintah Pusat untuk mengadakan koreksi atas ketimpangan antar Daerah, sehingga taxing power yang diberikan kepada Daerah tetap tidak terlalu besar . Dengan gambaran consolidated revenues (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN), porsi PAD hanya sebesar 5,30% tergolong sangat sentralistis (sebagai perbandingan masing-masing untuk Developing Countries, Transition Countries, dan OECD Countries rata-rata sebesar 9,27%, 16,59%, dan 19,13%. Untuk itu perlu dicarikan upaya untuk meningkatkan taxing power Daerah antara lain melalui penyerahan beberapa pajak Pusat kepada Daerah, penyerahan sebagian PNBP kepada Daerah dan lain-lain kebijakan Sharing Tax atau Piggy Backing System. Kebijakan ini sekaligus untuk menghilangkan upaya Daerah untuk menggali sumber-sumber PAD yang berdampak distortif terhadap perekonomian.
Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah (taxing power), sehingga penyimpangan penggunaan anggaran Daerah terutama yang berupa transfer dari Pusat dapat diperkecil atau bahkan ditiadakan. Pemerintah Pusat harus tetap mempertahankan komitmennya terhadap pelaksanaan desentralisasi dengan mematuhi perundang-undangan yang berlaku, sehingga kegiatan-kegiatan dalam rangka desentralisasi sepenuhnya kewenangan diberikan kepada Daerah. Bantuan Pemerintah Pusat yang berbentuk general grants (DAU) maupun revenue sharing (bagi hasil) diarahkan untuk (i) penciptaan keseimbangan fiskal baik vertikal maupun horizontal; (ii) menumbuhkan insentif dan/atau adanya kendali bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan segala fungsi/ kewenangan yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik. Sementara untuk specific grants (DAK) diarahkan kepada pemberian insentif kepada Pemerintah Daerah untuk turut mensukseskan program-program nasional yang bersifat prioritas. Konsep perhitungan DAU harus mengacu pada konsep Fiscal Gap (Kebutuhan Daerah – Kapasitas Daerah), dimana kebutuhan Daerah diukur dengan pendekatan pengukuran Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Standar Analisa Belanja (SAB) masing-masing Daerah.
3. Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah otonom
            Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah otonom diatur dengan cara-cara tertentu yang diatur dengan undang-undang. Dalam hal ini adalah UU No. 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah beserta peraturan pelaksanaannya.
1. Hubungan dalam pengaturan organisasi perangkat daerah Sebagaimana diketahui bentuk Negara Indonesia tercantum di dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945, yang penyelenggaraannya melalui ketentuan Pasal 18 ayat (1). Atas dasar ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan menggunakan sistem desentralisasi, dengan demikian terdapat pemencaran kekuasaan dari pusat kedaerah baik menurut asas otonomi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi. Berdasarkan kenyataan itu, antara pusat dan daerah akan terjadi hubungan antara lain hubungan kelembagaan, hubungan tersebut dalam praktek terlihat misalnya pada pengaturan organisasi perangkat daerah dan pemekaran daerah.
2. Kepala daerah Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan pada Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah, Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah, untuk provinsi disebut wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut wakil walikota.
3. Hubungan Kepala Daerah dengan Pemerintah Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Hubungan organisasi perangkat daerah antara pemerintah dengan pemerintah daerah terdapat dalam hal melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah (Pasal 27 Ayat (1)). Kepala Daerah juga mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Pasal 27 Ayat (2), pada Ayat (3) dikatakan Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah dimaksud disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
4. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. Dalam kedudukannya tersebut Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pusat di daerah, memiliki tugas dan wewenang dalam hal a) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b) koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c) koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
5. DPRD Konsep perwakilan politik lokal terkait dengan sistem pemerintahan yang dipraktikkan suatu Negara. Konsep perwakilan politik lokal merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi, artinya, keterlibatan masyarakat secara langsung dan tidak langsung ikut menentukan urusan urusan rumah tangga daerahnya.
6. Perangkat Daerah Keberadaan perangkat daerah dijumpai pada Pasal 1 Angka 3 dan Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2004 yang pelaksanaannya melalui PP No. 41 Tahun 2007.
7.Hubungan dalam pembentukan daerah (pemekaran dan pembubaran daerah) Hubungan kelembagaan lainnya terdapat dalam pembentukan daerah (pemekaran dan pembubaran daerah). Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 menganut desentralisasi teritorial sehingga akan dibentuk daerah-daerah baik Provinsi, Kabupaten dan Kota dengan UU.
8.Pengaturan Pemekaran Daerah dalam Peraturan Perundang-undangan Berbicara tentang pengaturan pemekaran daerah, sebenarnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hal tersebut.


Documents : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

1 Pengertian Anggaran Negara
Pengertian anggaran negara : Suatu dokumen yang memuat perkiraan penerimaan dan pengeluaran serta rincian kegiatan-kegiatan di bidang pemerintahan Negara yang berasal dari pemerintah untuk dalam jangka waktu satu tahun
2.Penyusunan dan Penetapan APBN
Dalam Bab III, pasal 11 sampai dengan pasal 15 UU. No. 17/2003, dijelaskan mengenai penyusunan dan penetapan APBN sebagai berikut:
APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang, terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan anggaran pembiayaan. Pendapatan negara terdiri atas pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintah pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja.
APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Rancangan APBN berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Tentang pembiayaan isinya antara lain disebutkan, dalam hal APBN diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam UU-APBN. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, pemerintah pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada DPR.
Pemerintah pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan, kemudian dilakukan pembahasan bersama antara Pemerintah Pusat dengan DPR untuk membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan anggaran.
Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang, menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya, berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapainya. Rencana kerja dan anggaran tersebut disertai perkiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun, disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN, dan hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya, sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah Pusat mengajukan rancangan UU-APBN, disertai Nota Keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPR bulan Agustus tahun sebelumnya. DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam RUU-APBN. Pengambilan keputusan oleh DPR selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. APBN yang disetujui DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Apabila DPR tidak menyutujui RUU-APBN, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.


3.Penerapan Planning,Programing and Badgeting System (PPBS) dan Anggaran Tradisional
Penerapan Planning,Programing and Badgeting System (PPBS) :
1.      Menggambarkan tujuan organisasi yang lebih nyata dan membantu pimpinan di dalam membuat keputusan yang menyangkut usaha pencapaian tujuan.
2.      Menghindarkan adanya pertentangan dan overlaping program dan mewujudkan sinkronisasi dan integrasi antar aparat organisasi dalam proses perencanaan.
3.      Alokasi sumberdaya yang lebih efisien dan efektif berdasarkan analisis manfaat dan biaya untuk mencapai tujuan, karena PPBS menggunakan teori marginal utility.
4.      Dalam jangka panjang dapat mengurangi beban kerja.
5.      Lintas departemen, sehingga dapat meningkatkan komunikasi, koordinasi dan tentunya adalah kerja sama yang baik antara departemen.
Penerapan Anggaran Tradisional pada :
1.      Sentralistis
2.      Berorientasi pada input
3.      Tidak terkait dengan perencanaan jangka panjang  
4.      Line-item dan incrementalism.
5.      Batasan departemen yang kaku (rigid department)
6.      Menggunakan aturan klasik.
7.      Vote accounting,
8.      Prinsip anggaran bruto

9.      Bersifat tahunan

Makalah : Sistem Pedidikan Nasional