Tuesday 30 June 2015

Cerpen : Peluh Kesetiaan

Peluh Kesetiaan
Oleh: Cut Yulinanda Putri Vonna
                                   

“Liana, apakah kamu lihat betapa indah awan itu ?” tanya Bima. Tanpa menjawab aku mengangguk setuju dengan pendapat. Dua tahun lamanya aku dan Bima sering bersama karena kami satu tempat les musik di daerah keraton  Jogja.
“Ana, kita makan pecel lele mbok  Girah yuk ! “ ajak Bima.
“Ah tidak, aku malas “
“Sudahlah ayo ! “ dia menarik keras tanganku hingga rasanya cemgkeraman tangan Bima membekas  cap merah di tanganku. Kami berdua berlari-lari kecil di sepanjang jalan ramai malioboro.
            “ mbok , , biasa , ,  dua pecel lele sma  dua teh hangat “,”injeh” jawab mbok Girah dengan logat jawanya yang santun. Kebersamaan seperti itulah yang sering kami lewati ketika ada waktu senggang untuk bertemu atau setelah jam les musik selesai.
“Bima ,kamu jadi kuliah di Malang ?”
“yo jelas jadi toh, aku kan ingin sekali pindah kesana.”
“hem..iya “,hatiku rasanya tak rela dan tak puas dengan jawaban Bima yang seolah-olah tak bersalah karena meninggalkanku sendiri di Jogja ini.
“hush ! jangan melamun, ditinggal cowok ganteng dan keren ini sudah bisa mebuatmu gila ya ? hahahaha (mengagetkan lamunanku ).
“kamu mengejekku?” “kesalku,
“tidakkah begitu ? “jawab Bima bertanya-tanya.   
Lelah jalan bersama Bima seharian membuatku tertidur di sofa empuk dekat kamar mamaku.
“liana ,,bangun,sholat dulu”, suara lembut mama membuatku semakin nyenyak tidur.
“iya mah,sebentar lagi ya ? “”keluhku,
“kamu gak takut dosa ? “
Sebelum mama bicra panjang lebar, segera aku bergegas bangun unuk mengambil air wudhu dan sholat magrib.
            Makan malam sengaja disiapkan mama karena kakakku pulang dari Surabaya ,dimana iya bekerja.
“gimana sekolahmu Ana?”kata kakakku mengawali pembicaraan mkan malam waktu itu.
“biasa aja ka” sambil melahap makan aku menjawab pertanyaannya
“tiga bulan lagi kamu lulus dek, mau kuliah dimana ? sebaiknya kamu kulia disini saja, kasihan kalu mama sendiri di Jogja”. Itulah ucapan kakak yang selalu bisa ku tebak setiap hari ia menanyakan sekolahku.sebenarnya aku ingin sekali melanjutkan kuliah di Malang sama seperti Bima.
            “Cerah sekali pagi ini Ana ,seperti matamu yang berbinar-binar ketika melihatku”.aku hanyaterdiam mendengar celotehnya.
“Ana ..bagaimana jika  nanti aku pergi darimu ? “,sontak aku melihat wajah Bima dengan kekecewaan di wajahnya.
“munkin aku akan menangis dan mendoakanmu agar cepat mati “ jawabku asal.
“masih bisa bercanda ? aku serius !”.
Yah ..itukan cita-citamu sejak dulu,kamu punya hp,aku juga punya, apa endak bisa kita komunikasi?” (menerangkan)
“yowes,aku tenang jadinya .”sungguh,senyum Bima membuatku sanagt bahagia walaupun suatu saat akau harus menangis tersedu-sedu melihat Bima pergi.
            “Ana ! hebat kamu dpat nilai terbaik” kata Rissa teman satu kelasku yang pandai bebahasa inggris.
“ya donnk, miss english, it’s not impossible !”
            Dengan seragamku yang penuh coretan pilok khas anak sma yang lulus, akau berjalan menyusuri malaioboro menuju komplek derah muntabali dekat teramai di Jogja.
            “ ting tong “ bunyi bel keras  lantang memanggil pemilik bel itu.
“siapa ya “,
“Tin kumat ya pikunmu? Aku Ana ,,mana Bima  cepat panggil
“perintahku tak sabaran.
“den Bima belum pulang non “.
“loh sudah sore begini belum pulang ya ? ya sudahlah
“jawabku sedikit kecewa.

            Dibawah temaram lampu alun-alun Jogja yang redup dan ramai ada dua insan tiduran diatas rumput hijau yang basah  akibat rintik hujan tadi sore. Aku dan Bima sering melihat bintang bersama disini untuk saling bercerita  untuk mengungkapkan hal yang belum kami ketahui satu sama lain. Malam ini terasa berbeda,esok hari ia akan meninggalkanku ke Malang.

            “Ana..?”
            “iya”
“maukah kamu berjanji tidak akan melupakanku dan menunggu teman tergantengmu ini kembali?”
“aku janji,tapi…”
“tapi opo maneh?! (membentakku)
“pedemu itu dihilangin ya?haha.Bima memukul kecil lenganku.
            Kami terus bersenda gurau sampai entah berapa lama waktu yang sudah kami lewatkan hanya untuk bercanda saja..
            Jalan malioboro masih saja rami padahal  waktu sudah menunjukkan larut malam,bahkan bulan ingin sekali segera menghilang. Aku sangat sedih karena hari-hariku tidak akan lagi sebahagia malam ini,Bima akan pergi. Aku berharap suatu saat aku dan Bima akan bertemu kembali.
            “Bima,boleh aku bertanya ?” tanyaku.
            “apa?” jawab Bima.                                                                   
            “apakah kau menyukaiku?”
            “hahahaha ngomong opo toh kamu ini ?”
Aku sangat malu mendengar jawaban Bima dan hanya mampu menunduk malu.
            “Ana ..yang jelas aku suka kamu ,aku tresna sama kamu,kalau ndak ya nggak mungkin aku sedih ninggalin kamu”
Mataku berbinar-binar serasa rohku terbang melayang ke awan.
            “benarkah ?
            “tapi kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?”tanyaku
            “karena aku tidak ingin melukai hatimu Ana, aku tau akan berpisah. Jadi, lebih baik kita bersahabat saja.”
            Tak anggupku bendung kesedihanku tapi dengan alasannya itu aku mengerti dam mampu untuk tegar.
            Pukul 07.00, aku melepas kepergian Bima sahabat yang aku cintai di stasiun Jogja. Air mataku berlinang deras membasahi pipi dan beberapa tisu yang kubawa. Berlalu dengan cepat kereta jurusan  Malang meninggalkan tempat dimana aku berdiri.
            Beberapa menit  dengan mataku lebamku.
“sudah berangkat Bima ,nduk?”tanya mama.
“hm”jawabku sinkat,
“udah jangan sedih,berdoalah agar cita-citanya dapat tercapai dan kembali kesini.”
Tanpa menjawab perkataan mama aku berlari ke kamar, menangis lagi sampai tertidur.
            “Ana ….Ana …Ana anakku !”teriak mama sambil mengetuk keras pintu kamarku1
            “ada apa ma?”
            Mama menarik tanganku dengan cepat duduk di sofa depan tv,aku meliha tanyangan tv yang ditunjuk mama sambil membenahi rambutku yang acak-acakan,
            Terdengar suara disela-sela volume tv : “ Berita kecelakaan  patah rel kereta api jalur malang siang ini mengakibatkan  80% penumpangnya tewas” tengelingaku mendengung,mataku nanar,tanganku gemetar,dan tubuhku terasa lemas tak berdaya.
            Aku berlari keluar rumah menuju stasiun menangis tersedu-sedu di sepanjang jalan. Sesampainya di stasiun ramai sekali dengan jerit tangis keluarga korban lain. Sekitar  lima kilometer berlari dari rumah dengan kaki tanpa alas menapaki jalan aspal yang panas akibat pancaran sinar matahari.
            Bima telah pergi untuk selamanya.
Sejak itu,setiap hari dan jam yang sama selalu aku berkunjung ke stasiun hanya sekedar menabur bunga dan duduk melihat kereta tujuan Malang berlalu meninggalkanku sama seperti saat terakhir  kali aku dan Bima berpisah entah sampai kapan aku terus melakukan kebiasaan ini.

TAMAT


No comments:

Post a Comment

Makalah : Sistem Pedidikan Nasional