Tuesday 30 June 2015

Cerpen : Cita-Cita Untuk Sang Ibu

Cita-Cita Untuk Sang Ibu
Oleh : Eva Diana

Sosok itu dengan tubuh makin renta, kulit yang semakin keriput dengan mata cekung seakan membendung penat dari kejenuhan, namun ia tidak pernah mengeluh, beliau adalah ibuku, ibu yang telah melahirkan aku 19 tahun silam, entah berapa tetes keringat yang telah ia korbankan untukku dan entah berapa ribu tangis kepiluan yang sengaja ia rendam agar aku tidak mendengarnya.
Setiap paginya, dikala mentari terbit ibu sudah sibuk dengan pekerjaannya yaitu membuka kios kecil yang lebih dikenal dengan kedai sampah, yang ibu jual hanya rempah-rempah dan jajanan kering, wajah ibu tampak lebih tua dari usia yang sesungguhnya, itu mungkin lambang dari penatnya yang harus ia jalani. Sering kali aku melihat ada butiran air bening yang tumpah dari kelopak matanya, ia membuka kiosnya dari pukul 05 : 30 dan tutup saat menjelang azan magrib, ibu selalu pulang dengan senyuman walau kadang tak satupun jualannya laku, sama seperti hari-hari kemarin terlihat dari kejauhan ibu menjinjing sisa jualannya kerumah, aku langsung berlari menghampirinya untuk membantunya membawakan barang-barang seperti biasa. Ku ajak ibu basa-basi untuk melepaskan penat yang ia rasakan.
“gimana hari ini bu?” tanyaku.
“ya namanya aja jualan laku seribu dua ribu ya wajar.”jawab ibu sambil tersenyum.
Aku tahu, pasti ini jualan ibu macet, yah aku sudah hafal jawaban itu, kalau saja jualannya laris,ia pasti akan menjawab dengan senyuman yang paling indah yang ia miliki.
            Jarum jam telah menunjukkan angka 12 malam, rasa kantuk mulai mengganjal dimataku, tapi tak mungkin kutinggalkan ibu sendirian sementara masih ada yang harus ku selesaikan malam ini.
            “jadi pulang besok?” tanya ibu lagi.
Aku mengangguk,sejenak ibu menghentikan pekerjaan lalu menatapku dalam-dalam.
            “kenapa bu?” balasku.
            “masih rindu rasanya ibu padamu nak?” jawab ibu.
Setetes air matanya jatuh dan dengan cepat-cepat ibu menghapus air matanya itu.
            “bagaimana kuliahmu?” tanya ibu lagi.


Sudah sekitar 3 tahun ini aku kuliah di universitas terbaik di Aceh karena beasiswa yang digalangkan pemerintah untuk pelajar SMA yang pintar. Mungkin jika dulu ibu tak memaksaku untuk mengambil untuk mengambil beasiswa itu, aku bisa membantu ibu berjualan tanpa melihat susah payah mencari uang sendiri seperti ini.
            “sejauh ini Alhamdulillah semua baik-baik saja, untuk beberapa mata kuliah Aira dapat nilai yang bagus “ jawabku sambil menarik nafas dalam-dalam, lalu kupeluk ibu saat itu juga.
            Langit masih tampak gelap, namun jarum jam telah menunjuki pukul 06 :00 pagi. Ibu mengemasi jualannya untuk di bawa ke kios dan aku membantunya.
            “jam segini apa ada orang belanja bu?“ tanyaku sambil menyusun jualannnya.
            “mudah-mudahan saja” jawab ibu tanpa melihat ke arahku.
Tak lama kemudian aku melihat ada beberapa ibu yang menuju ke kios ibuku.
            “ada sayur apa hari ini mak?” tanya salah seorang pengunjung.
            “eh mak David “ balas ibuku dengan ramah.
Sambil memilih sayur-sayuran yang akan dibelinya ibu dan pelanggannya mengobrol-ngobrol membuat suasana semakin ribut pagi ini.
            Hari ini aku harus kembali ke Banda Aceh dimana aku harus menjalani aktivitas perkuliahan seperti biasanya. Rasanya aku tidak ingin meninggalkan ibu sendirian, sebelum pergi aku singgah ke kios ibu.
            “bu, Aira tadi masak sup ayam untuk ibu.” Ucapku begitu sampai kios.
            “tumben nak? udah bisa masak ya?” Ucap ibu sambil meledekku.
            “ah ibu ini, Aira  kan udah besar, masak belum bisa masak!”jawabku sambil memeluk ibu dengan cepat.
Masih ingin aku bermanja dengan ibu, tapi jarum jam tidak bersahabat, aku harus pergi kalau tidak mau ketinggalan kereta.
            “bu, Aira pergi dulu ya?” ucapku seraya menyalami tangannya.
            “hati-hati ya nak, jaga diri baik-baik “ jawab ibu sambil menasihatiku.
Aku langsung pergi meninggalkan ibu di kios sendirian, kulambaikan tanganku ke ibu dan ibu membalasnya dengan berat hati.
Perlahan sirine kereta berbunyi,pertanda kereta akan segera berjalan. aku yang duduk di pinggir kaca terus memandangi pepohonan hijau, angin sesekali menembus kaca jendela kereta sambil mengibaskan rambutku, dan kubisikkan pada angin yang sejak tadi menyapaku dan aku berjanji suatu hari nanti akan kembali kepada ibu dengan membawa segengam kesuksesan yang kini kuperjuangkan dan esok ketika senja terbenam akan kuukir senyuman disisa hidup yang masih ibu miliki karena aku menyangangi ibu.
           
#to my Beloved “Mother”


TAMAT


No comments:

Post a Comment

Makalah : Sistem Pedidikan Nasional