HISTORI TERBENTUKNYA BAHASA INDONESIA SEBAGAI
BAHASA NASIONAL
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah
majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern
Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan
(1819-1869). James Richardson Logan adalah orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari
Universitas Edinburgh. Pada tahun 1849 seorang
ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri
sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman
66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the
Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl
menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk kepulauan Hindia atau kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a
distinctive name). Sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan
penyebutan nama
negara atau suku India yang lain. Earl
mengajukan dua pilihan namayakni Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam
bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis : … the
inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become
respectively Indunesians or Malayunesians. Artinya adalah dalam
populasi kepulauan Hindia atau Melayu seharusnya mengganti nama menjadi
Indunesia atau Malayunesia.
Earl sendiri menyatakan
memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan
Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia
bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, menurut Earl, bahasa Melayu dipakai di seluruh
kepulauan ini
(Melayu).
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman
252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the
Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya
nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago”
terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang
Earl, dan huruf “u” digantinya dengan huruf “o” agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah
Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di
dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan : Mr.
Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of
Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is Merelya shorter synonym for the IndianIslands
or the Indian Archipelago. Yang berarti Tuan Earl menyarankan
pemakaian nama Indunesia tetapi ia lebih menyukai pemakaian nama Malayunesia.
Dan Logan lebih memilih nama untuk kepulauan dengan Indonesia yang mengandung
kependekan dari pulau Hindia atau kepulauan Hindia.
Ketika mengusulkan nama
“Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan
menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat
terbesar di muka bumi. Sejak
saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama Indonesia dalam
tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di
kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di
Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan
buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak
lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke Indonesia pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian
inilah yang memopulerkan istilah Indonesia di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul
anggapan bahwa istilah Indonesia itu ciptaan Bastian. Pada kenyataannya
pendapat demikian tidak dibenarkan. Hal ini juga tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch– Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah Indonesia
itu dari tulisan-tulisan Logan.
Nasionalis tanah air yang
pertama kali menggunakan istilah Indonesia
adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913. Pada masa itu beliau mendirikan sebuah biro pers
dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Pada tahun 1920-an, nama
Indonesia yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil
alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan, sehingga nama Indonesia akhirnya
memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan
kemerdekaan.Akibatnya pemerintah
Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka” (de toekomstige vrije Indonesische staat). Melalui tulisannya
tersebut mustahil perjuangan kemerdekaan
negara dengan nama yang diberikan Belanda, yahki Hindia Belanda. Juga tidak menggunakan namaHindia saja, sebab nama tersebut dapat menimbulkan kekeliruan dengannegara India yang asli. Bagi kaum nasionalis saat itu, nama Indonesia menyatakan suatu tujuan
politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan
suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier)
akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo
mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Pada tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia
berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong
Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij
(Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama
Indonesia. Akhirnya nama Indonesia dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa
dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober
1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang
anggota Volksraad (Dewan Rakyat, DPR zaman Belanda), Muhammad
Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan
mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesia diresmikan sebagai pengganti
nama Nederlandsch-Indie (Hindia – Belanda). Tetapi Belanda menolaknya dengan
mentah-mentah.
Sebagai akibat kekalahan pihak Belanda saat Perang Dunia
II, maka tanah air Indonesia jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942.
Dengan keadaan ini maka lenyaplah nama
Hindia Belanda untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945,
lahirlah Republik Indonesia melalui perjuangan dan doa para
korban penjajahan,.
Awal terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu adalah melalui sebuah kongres pemuda yang diadakan pada 28 Oktober
1928. Diselenggarakan oleh pemuda-pemuda Indonesia di seluruh pelosok negeri.
Kongres Pemuda yang menghasilkan bukti outentik tebentuknya bangsa Indonesia
pada Kongres Pemuda II. Saat itulah kobaran jiwa-jiwa nasionalisme yang
tertindas, terhimpit oleh penjajahan kolonialisme belanda mulai menunjukkan
jiwa persatuannya untuk mewujudkan sebuah bangsa, bangsa yang memiliki
kedaulatan, bangsa yang menginginkan kemerdekaan, dan bangsa itu adalah bangsa
Indonesia.
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari
Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang
beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI tersebut,
kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali
rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung
Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng).
Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat
memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan
dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan
pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia
yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java
Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan
Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan
kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di
rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di
Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan
demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan
kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan
sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan
dalam perjuangan.
Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin
pada secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah
berpidato pada sesi terakhir kongres sambil berbisik kepada Soegondo: Ik
heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu
formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian
Soegondo membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian
diteruskan kepada yang lain untuk paraf setuju juga. Sumpah tersebut awalnya
dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Isi dari rumusan yang diajukan adalah sebagi berikut:
1. Pertama
- Kami
poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah
yang satu, tanah Indonesia.
2. Kedoewa
- Kami
poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang
satu, bangsa Indonesia.
3. Ketiga
- Kami
poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu
"Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan
biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut
disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan
mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu
diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai
wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon,
Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar
Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan masih banyak lagi. Di antara mereka hadir
pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John
Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar
belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir
sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan
pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan
mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.
Melalui ikrar sumpah pemuda tersebut lahir bangsa
Indonesia. Dari butir ketiga sumpah pemuda tersebut mengikrarkan bahasa
persatuan adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian secara de
facto bahasa Indonesia lahir pada Sumpah Pemuda tersebut. Walaupun
tidak ada penjelasan mendetail mengenai arti “bahasa Negara” pada saat itu,
namun kedudukan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara adalah langkah lanjutan
dari pengakuan dalam sumpah pemuda.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa
negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar
1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia
(Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di
Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak
zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca)
bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia
Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara
sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti
di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun
684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang
Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari
berbahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu Kuno itu tidak hanya dipakai pada zaman
Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka
tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga
menggunakan bahasa Melayu Kuno.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai
bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga
dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa
perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa
yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah mempunyai
bahasa nasional, bahkan bahasa negara. Tidak seperti negara tetangga seperti
Singapura, Filipina, dan India. Tidak mudah merumuskan bahasa negara, bahasa
yang lahir dari dalam kebudayaan suatu bangsa tersebut. Walaupun bahasa
Indonesia banyak diadopsi dari bahasa Melayu, namun bahasa Indonesia tidak sama
dengan bahasa Melayu. Bahasa Indonesia merupakan salah satu varian dari bahasa
Melayu.
Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia pada
masa itu bukan karena adanya kepentingan suatu ras tertentu dalam kongres
pemuda 28 Oktober 1928. Ketua Kongres Pemuda tersebut berasal dari jawa,
Soegondo Djojopuspito, Mohammad Yamin berasal dari Batak. Bahkan pengguna
bahasa Melayu pada masa itu masih tergolong sedikit, kebanyakan mereka
menggunakan bahasa daerah dan bahasa belanda untuk kaum nasionalis. Pemerintah
Belandalah yang berusaha menterjemahkan bahasa Melayu ke dalam tulisan latin
yang kemudian disebut sebagai ejaan Van Ophuijsen. Bahasa rekayasa inilah yang
mendasari pemerintah Belanda mendirikanBalai Pustaka sebagai
penerbitan buku-buku juga sebagai badan sensor penerbitan buku pada masa itu.
Selanjutnya pada masa penjajahan Jepang, pemerintah
Jepang melarang keras penggunaan bahasa Belanda. Mau tidak mau rakyat Indonesia
menggunakan bahasa daerah dan bahasa Melayu Indonesia sebagai media komunikasi.
Bahasa Melayu pada masa itu banyak digunakan untuk menerbitkan buku-buku selain
dalam bahasa Daerah dan bahasa Belanda. Pada masa itu bahasa Melayu juga telah
digunakan oleh masyarakat nusantara sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Hal
ini juga tidak terlepas dari rumpun bangsa yang mengikat Indonesia adalah
rumpun bangsa melayu.
Kemudian setelah kemerdekaan bahasa Indonesia juga telah
mengalami perkembangan kosakata. Kata-kata bahasa Melayu juga sudah mengalami
pergeseran makna menjadi suatu kesatuan bahasa yang santun. Maka pada tahun 1950
dibentuklah sebuah ejaan penyempurnaan bahasa Indonesia atau yang kerap disebut
sebagai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
PENGARUH BAHASA ASING DAN BAHASA DAERAH DALAM BAHASA
INDONESIA
Bahasa indonesia tidak
dapat berdiri sendiri sebagai bahasa nasional tanpa pengaryh dari bahasa-bahasa
diluar bahasa Melayu yang menjadi landasan dasar bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia juga mendapat kata-kata yang berasal dari bahasa Asing sebagai dampak
perdagangan maupun dampak kolonialisme di Indonesia. Selain itu bahasa
Indonesia juga memperoleh kosakata yang tidak ada dalam bahasa Melayu dari
bahasa daerah tertentu.
Kosakata dalam bahasa Melayu yang digunakan sebagai dasar
bahasa Indonesia tidak mempunyai kosakata yang banyak untuk mewakili
benda-benda atau perihal-perihal yang ada dalam masyarakat majemuk Indonesia.
Oleh karena itu, penyerapan kosakata dilakukan dengan mengambil kata-kata Asing
maupun kata-kata dari bahasa daerah. Penyerapan kata-kata tersebut dilakukan
dengan dua cara. Pertama penyerapan secara keseluruhan baik pengucapannya
maupun penulisannya. Cara yang kedua dengan menyesuaikannya dengan pengucapan
maupun penulisan sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan
bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, harus takluk dengan bahasa Indonesia.
Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada
timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa bisa disebut dengan
dialek, maka beraneka macam ragam bahasa tersebut masih tetap disebut bahasa
Indonesia.
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahasa Indonesia
tidak secara murni mencercap bahasa Melayu murni. Bahasa Indonesia selain
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, ternyata bahasa Indonesia
berkembang dengan adanya bahasa asing dan bahasa daerah yang lebih dahulu
terlahir dibandingkan bahasa Indonesia.
Bahasa asing banyak juga yang telah diserap ke dalam
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dari awal pertumbuhannya sampai sekarang
telah banyak menyerap unsur-unsur asing terutama dalam hal kosakata. Kata
serapan adalah kata yang berasal dari bahasa asing yang sudah diintegrasikan
kedalam suatu bahasa dan diterima pemakaiannya secara umum. Bahasa Indonesia
menyerap banyak kata dari bahasa-bahasa lain, terutama dari negara yang pernah
berhubungan langsung dengan Indonesia baik melalui perdagangan (Sansekerta,
Arab, dan Tionghoa), melalui penjajahan (Portugis, Jepang, Belanda), maupun
dari perkembangan ilmu pengetahuan (Inggris). Berikut data jumlah kata asing
yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia:
No.
|
Asal Bahasa
|
Jumlah Kata
yang Diserap
|
1.
|
Arab
|
1.495 kata
|
2.
|
Belanda
|
3.280 kata
|
3.
|
Tionghoa
|
290 kata
|
4.
|
Hindi
|
7 kata
|
5.
|
Inggris
|
1.610 kata
|
6.
|
Parsi
|
63 kata
|
7.
|
Portugis
|
131 kata
|
8.
|
Sanskerta-Jawa
Kuna
|
677 kata
|
9.
|
Tamil
|
83 kata
|
Sumber: http://www.dwiajisapto.blogspot.com.
Seperti yang kita ketahui dari pelajaran sejarah, bahasa
Sansekerta telah dipakai di Nusantara sejak masa lampau. Bahasa Sansekerta
tercatat paling awal masuk ke Nusantara (Indonesia). Bahasa ini dipakai
mula-mula di salah satu peradaban tertua, peradaban Sungai Indus dan menyebar
ke hampir seluruh dunia besamaan meyebarnya kepercayaan Hindu. Salah satu
tempat menyebarnya kepecayaan Hindu adalah daerah Asia Tenggara. Kerajaan
Sriwijaya, dari namanya pun sudah memakai bahasa Sansekerta. Sampai di masa
kerajaan-kerajaan Islam, bahasa Sansekerta masih dipakai, contohnya adalah
nama-nama raja di Jawa. Beberapa kata serapan dari bahasa Sansekerta antara lain:
bencana (vāñcana), anugerah (anugraha), busana (bhūṣaṇa), sahaja (sahaja),
istana (āsthāna), dan istri (strī).
Selanjutnya pengaruh bahasa Cina terhadap bahasa
Indonesia berawal dari hubungan dagang yang terjadi sejak abad ke-7. Para
saudagar Cina berdagang ke Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan
Timur, bahkan sampai juga ke Maluku Utara. Pada saat Kerajaan Sriwijaya muncul
dan kukuh, Cina membuka hubungan diplomatik dengannya untuk mengamankan usaha
perdagangan dan pelayarannya. Pada tahun 922 musafir Cina melawat ke Kerajaan
Kahuripan di Jawa Timur. Sejak abad ke-11 ratusan ribu perantau meninggalkan
tanah leluhurnya dan menetap di banyak bagian Nusantara (Kepulauan Antara,
sebutan bagi Indonesia).
Yang disebut dengan bahasa Tionghoa adalah bahasa di
negara Cina. Bahasa di negara Cina tidak hanya satu bahasa, melainkan banyak
bahasa yang ada di negara Cina. Empat diantara bahasa-bahasa itu yang di kenal
di Indonesia yakni Amoi, Hakka, Kanton, dan Mandarin. Kontak yang begitu lama
dengan penutur bahasa Tionghoa ini mengakibatkan perolehan kata serapan yang
banyak pula dari bahasa Tionghoa, namun penggunaannya tidak digunakan sebagai
perantara keagamaan, keilmuan, dan kesusastraan di Indonesia sehingga ia tidak
terpelihara keasliannya dan sangat mungkin bahasa Tionghoa berbaur dengan
bahasa di Indonesia. Contohnya: anglo, bakso, cat, giwang, kue atau kuih,
sampan, dan tahu.
Bahasa Arab dibawa ke Indonesia mulai abad ketujuh oleh
saudagar dari Persia, India, dan Arab yang juga menjadi penyebar agama Islam.
Kosakata bahasa Arab yang merupakan bahasa pengungkapan agama Islam mulai
berpengaruh ke dalam bahasa Melayu terutama sejak abad ke-12 saat banyak raja
memeluk agama Islam. Kata-kata serapan dari bahasa Arab misalnya abad, bandar,
daftar, edar, kursi, gairah, hadiah, hakim, ibarat, jilid, kudus, mimbar,
sehat, taat, wajah, dan koran. Karena banyak di antara pedagang itu adalah
penutur bahasa Parsi maka tidak sedikit kosakatanya juga pada akhirnya diserap,
seperti acar, baju, domba, kenduri, piala, saudagar, dan topan.
Masa penjajahan di Indonesia pertama kali dimulai oleh
masuknya bangsa Portugis yang ingin mencari rempah-rempah yang pada saat itu
nilainya sangat tinggi. Bahasa Portugis dikenali masyarakat penutur bahasa
Melayu sejak bangsa Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 setelah setahun
sebelumnya ia menduduki Goa. Portugis disingkirkan Belanda yang datang kemudian
dan Portugis harus menyingkir ke daerah timur Nusantara. Meski demikian, pada
abad ke-17 bahasa Portugis sudah menjadi bahasa penghubung antaretnis di
samping bahasa Melayu. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Portugis
seperti algojo, bangku, dadu, gardu, meja, picu, renda, dan tenda.
Belanda mendatangi Nusantara pada awal abad ke-17 ketika
ia mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1606, kemudian ia menuju ke pulau
Jawa dan daerah lain di sebelah barat. Sejak itulah, secara bertahap Belanda
menguasai banyak daerah di Indonesia. Bahasa Belanda tidak sepenuhnya dapat
menggeser kedudukan bahasa Portugis, karena pada dasarnya bahasa Belanda lebih
sukar untuk dipelajari, lagipula orang-orang Belanda sendiri tidak suka membuka
diri bagi orang-orang yang ingin memepelajari kebudayaan Belanda termasuk
bahasanya. Hanya saja pendudukannya semakin luas meliputi hampir di seluruh negeri
dalam kurun waktu yang lama. Belanda juga merupakan sumber utama dalam menimba
ilmu bagi kaum pergerakan nasional. Oleh karena itu, komunikasi gagasan
kenegaraan pada saat negara Indonesia didirikan banyak mengacu pada bahasa
Belanda. Beberapa kata-kata serapan dari bahasa Belanda seperti abodemen,
bangrut, dongkrak, ember, formulir, dan tekor.
Pendududkan Jepang di Indonesia yang selama tiga setengah
tahun tidak meninggalkan warisan yang dapat bertahan melawati beberapa
angkatan. Kata-kata serapan dari bahasa Jepang yang digunakan umumnya bukanlah
hasil hubungan bahasa pada masa pendudukan, melainkan imbas kekuatan ekonomi
dan teknologinya. Kata serapan dari bahasa Jepang antara lain: ebi, judo,
karaoke, kimono, dan samurai.
Bangsa Inggris tercatat pernah menduduki Indonesia yaitu
ketika Raffles menginvasi Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1811. Kata
serapan dari bahasa Inggris ke dalam kosa kata Indonesia umumnya terjadi pada
zaman kemerdekaan Indonesia, namun ada juga kata-kata Inggris yang sudah dikenal,
diserap, dan disesuaikan pelafalannya ke dalam bahasa Melayu sejak zaman
Belanda yang pada saat Inggris berkoloni di Indonesia antara masa kolonialisme
Belanda. Kata-kata itu seperti badminton, kiper, gol, dan bridge. Banyaknya
kosakata bahasa Inggris yang diserap kedalam bahasa Indonesia karena bahasa
Inggris telah diakui sebagai bahasa internasional atau bahasa dunia. Dengan
semakin pesatnya ilmu pengetahuan dan teknolgi yang sebagian besar informasinya
ditulis dalam bahasa Inggris, beberapa istilah-istilah penting akan tertulis
dalam bahasa Inggris juga.
Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan
dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan
berikutnya, khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia. Sebagai
contoh, seorang anak memiliki ibu yang berasal dari daerah Sekayu sedangkan
ayahnya berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan
orang Palembang. Dalam mengucapkan sebuah kata misalnya “mengapa”, sang ibu
yang berasal dari Sekayu mengucapkannya ngape (e dibaca kuat) sedangkan
bapaknya yang dari Pagaralam mengucapkannya ngape (e dibaca lemah) dan di
lingkungannya kata “mengapa” diucapkan ngapo. Ketika sang anak mulai
bersekolah, ia mendapat seorang teman yang berasal dari Jawa dan mengucapkan
“mengapa” dengan ngopo. Hal ini dapat menimbulkan kebinggungan bagi sang anak
untuk memilih ucapan apa yang akan digunakan.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman
budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini akan
mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya. Berbedannya
bahasa di tiap-tiap daerah menandakan identitas dan ciri khas masing-masing
daerah. Masyarakat yang merantau ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah
yang sama, salah satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka.
Tidak jarang pula orang mempelajari sedikit atau hanya bisa-bisaan untuk
berbahasa daerah yang tidak dikuasainya agar terjadi suasana yang lebih akrab.
Beberapa kata dari bahasa daerah juga diserap menjadi Bahasa Indonesia yang
baku, antara lain kata nyeri (Sunda) dan kiat (Minangkabau).
Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia
yang keberadaannya diakui oleh Negara. UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2)
menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional.” dan juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa
Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung bahasa
nasional merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah
kepada bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, dan kosa kata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia
mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa
Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya.
Selain itu, bahasa Daerah ternyata sebagai bahasa
pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar di daerah tertentu untuk
memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan atau pelajaran lain. Di daerah
tertentu , bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar di dunia
pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga).
Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia, kecuali daerah-daerah yang
mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
Bahasa Daerah juga sebagai sumber kebahasaan untuk
memperkaya bahasa Indonesia. Seringkali istilah yang ada di dalam bahasa daerah
belum muncul di bahasa indonesia sehingga bahasa indonesia memasukkannya
istilah tersebut, contohnya “gethuk“ yaitu makanan yang dibuat dari ubi dan
sejenisnya kemudian direbus, lalu dicampur gula dan kelapa (ditumbuk
bersamaan). Karena di bahasa indonesia istilah tersebut belum ada, maka istilah
“gethuk“ juga di resmikan di bahasa indonesia sebagai istilah dari “makanan
yang dibuat dari ubi dan sejenisnya kemudian direbus, lalu dicampur gula dan kelapa
(ditumbuk bersamaan)“.
Bahasa Daerah merupakan
pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintah pada tingkat
daerah. Dalam tatanan pemerintah pada tingkat daerah, bahasa daerah menjadi
penting dalam komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat yang kebanyakan
masih menggunakan bahasa ibu sehingga dari pemerintah harus menguasai bahasa
daerah tersebut yang kemudian bisa dijadikan pelengkap di dalam penyelenggaraan
pemerintah pada tingkat daerah tersebut.
PEMBAKUAN BAHASA INDONESIA
Sebagai bahasa yang hidup, bahasa Indonesia telah dan
akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat
pemakainya. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia dan keanekaragaman
penuturnya serta cepatnya perkembangan masyarakat telah mendorong berkembangnya
berbagai ragam bahasa Indonesia dewasa ini. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia
digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat penutur yang berbeda latar
belakangnya baik dari segi geografis maupun dari segi sosial menyebabkan
munculnya berbagai ragam kedaerahan (ragam regional) dan sejumlah ragam sosial.
Bermula dari latar belakang terbentuknya bahasa Indonesia
yang banyak menyerap dari bahasa asing maupun daerah, maka perlu dibakukan atau
distandarkan. Pembakuan bahasa berfungsi untuk komunikasi formal dan resmi
dengan bahasa yang santun, baik, dan benar serta berwibawa ketika menggunakan
bahasa nasional.
Pembakuan atau penstandaran bahasa adalah pemilihan acuan
yang dianggap paling wajar dan paling baik dalam pemakaian bahasa. Masalah kewajaran
terkait dengan berbagai aspek. Dalam berbahasa, misalnya, aspek ini meliputi
situasi, tempat, mitra bicara, alat, status penuturnya, waktu, dan lain-lain.
Aspek-aspek tersebut disebut juga dengan istilah konteks.
Konteks itulah yang menuntut adanya variasi bahasa. Dalam
pemakaiannya, variasi bahasa berhubungan dengan masalah fungsi bahasa sebagai
alat komunikasi sosial. Berdasarkan fungsinya itu,maka bahasa tidak menunjukkan
adanya satu acuan yang dipergunakan untuk berkomunikasi dalam segala fungsinya.
Setiap acuan cenderung dipergunakan sesuai konteks yang mempengaruhinya.
Karena adanya berbagai acuan itu, maka masalah utama
standardisasi bahasa adalah acuan manakah yang harus dipilih di antara berbagai
acuan yang ada dalam berbagai variasi pemakaian sesuai dengan faktor-faktor
yang mempengaruhinya, yang akan ditetapkan sebagai acuan standar.
Ada beberapa hal yang perlu dipedomani untuk penetapan
bahasa baku atau standar. Pedoman itu meliputi hal sebagai berikut.
1. Dasar
keserasian; bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi,baik tulis maupun
lisan
2. Dasar
keilmuan; bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah
3. Dasar
kesastraan; bahasa yang digunakan dalam berbagai karya sastra.
Masalah pembakuan bahasa terkait dengan dua hal, yakni
kebijaksanaan bahasa dan perencanaan bahasa. Melalui kebijaksanaan bahasa
dipilih dan ditentukan salah satu dari sejumlah bahasa yang ada untuk dijadikan
bahasa nasional atau bahasa resmi kenegaraan. Sedangkan melalui perencanaan
bahasa dipilih dan ditentukan sebuah ragam bahasa dari ragam-ragam yang ada
untuk dijadikan ragam baku atau ragam standar bahasa tersebut. Proses pemilihan
atau penyeleksian dan penetapan salah satu ragam bahasa resmi kenegaraan atau
kedaerahan, serta usaha-usaha pembinaan dan pengembangannya yang dilakukan
secara kontinu disebut pembakuan bahasa atau penstandaran bahasa.
Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang
memiliki nilai komunikatif yang tinggi, yang digunakan dalam kepentingan
nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan
yang terikat oleh tulisan baku, ejaan baku, serta lafal baku (Junus dan Arifin
Banasuru dalam Ramlan, 2010). Bahasa baku tersebut merupakan ragam bahasa yang
terdapat pada bahasa bersangkutan. Ragam baku itu merupakan ragam yang
dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai
bahasa resmi dan diakui oleh sebagian kerangka rujukan norma bahasa dalam
penggunaannya.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam usaha
pembakuan bahasa adalah:
1. Kodifikasi
Himpunan dari hasil pemilihan mana yang
lebih baik antara satu dengan yang lainnya,itulah kodifikasi. Jadi, yang
mula-mula dilakukan ialah inventarisasi bahan dari sejumlah bidangyang
diperlukan. Kemudian diadakan pemilihan pada kelompok tiap bidang. Selanjutnya,
hasil pemilihan itu dihimpun menjadi satu kesatuan. Dalam pengkodifikasian
bahasa Indonesia akan menyangkut dua aspek yang penting, yaitu:
a. Bahasa
menurut situasi pemakai dan pemakaiannya.
b. Bahasa
menurut strukturnya sebagai suatu sistem komunikasi.
Kodifikasi yang pertama akan menghasilkan
sejumlah ragam bahasa dan gaya bahasa. Perbedaan ragam gaya tampak dalam
pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulisan, masing-masing akan mengembangkan
variasi menurut pemakaiannya di dalam pergaulan keluarga dan sahabat.
Kodifikasi yang kedua menghasilkan tata bahasa dan kosa kata yang baku. Pada
umumnya yang layak dianggap baku adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh
golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan lebih besar kewibawaannya.
2. Elaborasi
Elaborasi ini merupakan penyebarluasan
kodifikasi. Penyebarluasan ini dilakukan dengan jalan menerapkan hasil
kodifikasi ke dalam segi kehidupan bangsa Indonesia.
3. Implementasi
Setelah usaha kodifikasi dan elaborasi,
maka harus diikuti oleh usaha implementasi yang merupakan proses akhir dari
usaha pembakuan bahasa. Terwujudnya implementasi dengan baik berarti usaha
pembakuan bahasa telah tercapai. Hal ini bergantung pada masyarakat, apakah masyarakat
menerima hasil kodifikasi dan usaha elaborasi tadi dengan sikap positif atau
tidak. Jika usaha kodifikasi dan elaborasi dikerjakan oleh pusat pembinaan dan
pengembangan bahasa atau lembaga-lembaga bahasa maka implementasi dilakukan
oleh seluruh anggota masyarakat.
Untuk menentukan apakah sebuah ragam bahasa itu baku atau
tidak, maka ada tiga hal yang dijadikan patokan. Ketiga hal tersebut adalah
kemantapan dan kedinamisan, kecendikian dan kerasionalan, serta keseragaman.
1. Kemantapan
dan Kedinamisan
Mantap artinya sesuai atau taat dengan
kaidah bahasa. Kata rasa, misalnya jika dibubuhi imbuhan pe- maka terbentuklah
kata jadian perasa. Begitu juga kata raba. Kata tersebut bila dibubuhi imbuhan
pe- maka akan terbentuk kata jadian peraba. Kata rajin juga demikian. Kalau
kita taat asas maka kita akan mengatakan pengaji bukan pengkaji untuk orang
yang melakukan kajian (research).
Dinamis artinya tidak statis atau tidak
kaku. Bahasa baku tidak menghendaki bentuk yang kaku, apalagi mati. Bahasa baku
menghendaki bahasa yang luwes, fleksibel, dan dapat mewakili perihal yang
diluar bahasa yang ingin disampaikan oleh penutur.
2. Kecendikian
atau Kerasionalan
Bahas baku bersifat cendikia karena bahasa
baku dipakai di tempat-tempat resmi dan oleh orang terpelajar. Selain itu,
bahasa baku dapat menjembatani antarpengguna, sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman dalam pemerosesan pesan. Dapat juga dikatakan bahasa baku
memberikan gambaran apa yang ada di dalam otak pembicara atau penulis, serta
memberikan gambaran yang jelas dalam otak pendengar atau pembaca.
3. penyeragaman
Pada hakikatnya pembakuan bahasa berarti
penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa artinya pencarian atau
penentuan titik-titik keseragaman. Sebagai contoh, sebutan pelayanan kapal
terbang dianjurkan mengguanakan istilah pramugara untuk laki-laki dan pramugari
untuk perempuan. Andaikata ada orang yang menggunakan kata steward atau stewardes dan
penyerapan itu seragam, maka kata-kata tersebut menjadi kata-kata baku. Akan
tetapi, kenyataannya hingga saat ini kedua kata tersebut tidak kita gunakan
dalam konteks keindonesiaan.
Selain berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara,
dan bahasa resmi, bahasa baku mempunyai fungsi lain. Gravin dan Mathint (Chaer
dalam Ramlan, 2010) menjelaskan bahwa bahasa baku bersifat sosial politik,
yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah, fungsi harga diri, dan fungsi kerangka
acuan.
Maksud dari penjelasan Gravin dan Mathint bahasa baku
bersifat sosial pilitik adalah bahasa disususn sedemikian rupa untuk menyatukan
masyarakat majemuk yang ada dalam suatu negara, fungsi pemisah klasifikasi
sosial yang mencolok seperti pada masayrakat budaya hindu maupun masyarakat
keraton. Bahasa baku dapat mencerminkan penuturnya, penutur yang baik dalam
berbahasa Indonesia yang baku, maka orang tersebut juga mencerminkan harga
dirinya yang santun. Bahasa baku juga berfungsi menunjuk kerangka acuan yang
berada di luar kebahasaan.
Alwi, dkk. (dalam Ramlan, 2010) menjelaskan bahwa bahasa
baku mendukung empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang atau
simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif. Fungsi-fungsi tersebut
adalah (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa
kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Kridalaksana (dalam Ramlan: 2010) mencatat empat fungsi
bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2)
wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang
yang dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku itu, hanya
dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan komunikasi verbal secara
lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan dalam pembicaraan di depan
umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, atau dalam pembicaraan dengan
orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan, dengan guru, dan dengan
orang yang baru dikenal.
Telah dijelaskan di atas bahwa ragam bahasa baku dianggap
sebagai ragam bahasa yang baik yang cocok untuk keperluan komunikasi verbal
yang penting, yang menjadi tolok untuk pemakaian bahasa yang benar, dan yang
bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan dengan fungsi sosial bahasa baku itu,
Moeliono (dalam Ramlan: 2010) mencatat empat fungsi pokok, yakni fungsi
pemersatu, fungsi penanda kepribadian, fungsi penanda wibawa, fungsi sebagai
kerangka acuan.
Pada umumnya fungsi pokok bahasa baku yang diungkapkan
para pakar di atas memiliki kesamaan. Bahasa pokok berfungsi sebagai pemersatu,
pencermin kepribadian, dan sebagai penanda rujukan di luar kebahasaan.
Penggunaan bahasa baku umumnya digunakan untuk hal-hal
surat menyurat antarlembaga, laporan keuangan, karangan ilmiah, lamaran
pekerjaan, surat keputusan, perundangan, nota dinas, rapat dinas, pidato resmi,
diskusi, penyampaian pendidikan, dan sebagainya yang berurusan dengan lembaga
formal.
Andaikata kita sudah memiliki salah satu ragam bahasa
untuk dijadikan ragam baku, maka pembakuan itu harus dilakukan pada semua
tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, maupun semantik. Secara
resmi, berdasarkan Ejaan Yang Disempurnkan, fonem-fonem bahasa Indonesia sudah
ditentukan, tetapi yang berhubungan dengan pelafalan belum pernah dilakukan
pembakuan. Menurut konsensus, seseorang telah
berbahasa Indonesia dengan lafal baku apabila ia tidak menampakkan ciri-ciri
bahasa daerah. Dengan pelafalan baku itu, seseorang tidak diketahui secara
linguistik darimana ia berasal. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam
berbahasa Indonesia baku, ia tidak terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain yang
dikuasainya.
Dalam bidang ejaan, pembakuan telah lama dilakukan dan
telah melalui proses yang panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan van
Ophuijsen pada tahun 1901, dilanjutkan dengan ejaan Swandi atau Ejaan Republik
pada tahun 1947, diteruskan dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Bahkan EYD ini
berlaku juga bagi bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam.
Dalam bidang tata bahasa, pembakuan telah dilakukan,
yakni dengan diterbitkannya buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Pembakuan
bahasa Indonesia dalam bidang kosakata dan peristilahan juga telah lama
dilakukan. Pembakuan tersebut dapat dilihat dari ejaannya, lafalnya, bentuknya,
dan sumber pengambilannya.
Dalam bidang peristilahannya misalnya, bahasa Indonesia
memiliki aturan sendiri. Dari segi sumbernya, istilah-istilah yang diambil
dapat bersumber dari kosa kata bahasa Indonesia (baik yang lazim maupun tidak),
kosakata bahasa serumpun, dan kosakata bahasa asing. Penjelasan lebih lanjut
tentang sumber istilah itu terlihat pada uraian berikut ini.
1. Kosakata
Bahasa Indonesia
Kata bahasa Indonesia yang dapat dijadikan bahan istilah
ialah kata umum, baik yang lazim maupun tidak lazim. Kata-kata tersebut harus
memenuhi salah satu syarat (boleh lebih) berikut:
a. Kata
dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang
dimaksudkan
b. Kata
lebih singkat daripada kata yang lain yang berujukan sama
c. Kata
yang tidak bernilai rasa (konotasi) buruk dan yang sedap didengar (eufonik).
Disamping itu, istilah dapat berupa kata umum yang diberi
makna baru atau makna khusus dengan jalan menyempitkan atau meluaskan makna
asalnya.
2. Kosakata
Bahasa Serumpun
Jika dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang
dengan tepat dapat mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang
dimaksudkan, maka istilah dicari dalam bahasa serumpun, baik yang lazim maupun
yang tidak lazim yang memenuhi syarat pada bagian satu di atas.
3. Kosakata
Bahasa Asing
Jika baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa
serumpun tidak ditemukan istilah yang tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan
sumber peristilahan Indonesia. Istilah baru dapat dibentuk dengan jalan
menerjemahkan, menyerap, menyerap sekaligus menerjemahkan istilah asing itu.
Di era globalisasi penutur bahasa Indonesia mengalami
kesulitan penggunaan bahasa baku untuk komunikasi resmi. Hal ini karena
banyaknya jargon-jargon atau bahasa baru yang populer di kalangan masyarakat
hingga menggeser kebakuan bahasa Indonesia. Walaupun bahasa Indonesia bukan
suatu sistem bahasa yang kaku seperti pembahasaan pada negara Jepang, bukan
berarti juga bahasa Indonesia dengan mudah dikolaborasikan dengan bahasa yang
bukan baku. Pencampuran bahasa akan berdampak pada penurunan esensi bahasa
nasional di tingkat Internasional. Akan semakin sulit suatu bahasa tersebut
dipelajari oleh bangsa lain.
Bukan suatu upaya yang mudah untuk membakukan bahasa
Indonesia yang dipandang sebagai bahasa nasional. Seharusnya sebagai pejuang
globalisasi haruslah menggunakan bahasa Indonesia dengan baku, benar, baik, dan
berwibawa agar kelak impian bangsa Indonesia mewujudkan bahasa Indonesia
menjadi bahasa dunia terlaksana secepat mungkin.
KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NASIONAL
Di bumi ini semua manusia mempunyai bahasa. Pemilikan
bahasa konseptual ini membedakan manusia dari yang lainnya. Dalam kelangsungan
kehidupan manusia, maka fungsi bahasa yang paling mendasar adalah menjelmakan
pemikiran konseptual ke dalam dunia kehidupan. Kemudian penjelmaan tersebut
menjadi landasan untuk suatu perbuatan. Perbuatan ini menyebabkan terjadinya
hasil, dan akhirnya hasil ini dinilai. Bila pemikiran konseptual tidak
dinyatakan dalam bahasa, maka orang lain tidak akan mengetahui pemikiran
tersebut. Ada kemungkinan juga sebuah pemikiran langsung dijelmakan dalam
sebuah perbuatan, yang kemudian ditirukan oleh orang lain. Tetapi langkah
demikian serupa dengan perilaku seekor monyet sekitar 30 juta tahun yang lalu.
Pernyataan diatas sejalan dengan pernyataan Aminuddin
(2011:10) yang menyatakan bahwa bahasa adalah alat atau media untuk berpikir
dan mengeluarkan hasil pemikirannya juga melalui bahasa yang komunikatif dan
dapat dipahami antar masyarakat bahasa.
Maksud dari pernyataan di atas adalah bahasa merupakan
inti dari berpikir dan bisa dikatakan sebagai induk sebuah ilmu. Tanpa ada
bahasa mereka para ilmuan mungkin tidak menjadi seorang ilmuan yang terkenal
karena mereka tidak mampu menyampaikan hasil pemikirannya dengan menggunakan
bahasa. Bahasa merupakan sarana komunikasi baik komunikasi antarindividu maupun
komunikasi diri sendiri yang disebut dengan komunikasi batiniah.
Sama halnya dengan pernyataan Minto (2007:5) bahwa
berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan media bahasa. Bahasa harus
dipahami oleh semua pihak dalam suatu komunitas. Komunikasi merupakan penggerak
kehidupan. Jadi, tidak mungkin dapat dihilangkan karena manusia merupakan
makhluk sosial yang selalu membutuhkan interaksi atau hubungan dengan manusia
lain.
Paparan dari Minto di atas menerangkan kedudukan manusia
sebagai makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi dalam suatu komunitas untuk
kelangsungan hidup manusia. Komunikasi antarmanusia tidak dapat dienyahkan dari
peradaban manapun dan selamanya tidak akan pernah hilang. Oleh karena itu,
komunikasi atau interaksi merupakan hal yang vital atau penting.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa di dunia sangat
beragam. Keberagaman bahasa dunia ini mencerminkan pentingnya sebuah bahasa
yang digunakan dalam masyarakat tertentu untuk berkomunikasi. Keberagaman
bahasa di dunia saat ini sudah ada solusinya untuk bisa berkomunikasi secara
global yakni melalui bahasa Inggris. Tidak jauh berbeda dalam satuan negara,
khususnya Indonesia yang juga memiliki banyak suku bangsa, budaya, serta bahasa
dapat disatukan dengan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa terpenting di kawasan republik
Indonesia. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar
ketiga Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang berbunyi: Kami putra dan
putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Selanjtnya butir ketiga dari Sumpah Pemuda tersebut diperkuat dengan
Undang-Undang Dasar 1945 bab XV pasal 36 yang menyatakan bahwa “Bahasa Negara
ialah Bahasa Indonesia”.
Dasar landasan pentingnya bahasa Indonesia sudah
dipertegas dalam UUD 1945. Maka penting tidaknya suatu bahasa dapat juga
didasari pada: (1) jumlah penuturnya; (2) luas penyebarannya; (3) peranannya
sebagai sarana ilmu, kasusastraan, dan ungkapan budaya lain yang dianggap
bernilai. Menurut patokan-patokan yang diajukan tersebut, bahasa nasional
mengatasi bahasa daerah yang lain.
Bahasa nasional berkedudukan di atas bahasa daerah yang
digunakan dalam negara tersebut secara resmi dan formal. Bahasa nasional
memiliki jumlah penutur yang banyak karena sifat bahasa pada dasarnya
arbitrer dan konvensional. Selain itu penyebaran bahasa nasional lebih
luas meliputi seluruh nusantara. Bahasa nasional juga berperan sebagai madia
penyalur ilmu, kesusastraan, dan media pengungkapan budaya yang lainnya yang
dianggap bernilai, berharga.
Pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dirasa
sudah arif dan bijaksana. Karena jika salah satu bahasa daerah diangkat menjadi
bahasa nasional maka akan timbul kecemburuan sosial pada pemilik kebudayaan
yang lain, mereka merasa bahwa mereka dipandang sebelah mata. Maka hal yang
paling buruk akan ada disintegrasi nasional, banyak gerakan separatisme, dan
tidak akan menjadi bahasa pemersatu. Pemilihan bahasa Indonesia menghindarkan
dari kecemburuan sosial antarsuku, menghindarkan disintegrasi nasional, serta
mencegah gerakan separatisme.
Bahasa Indonesia telah dikukuhkan sebagai bahasa negara,
sebagai bahasa negara berarti bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang harus
digunakan sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia dengan baku, baik, dan
benar. Dari pentingnya kedudukan bahasa nasional, posisi bahasa indonesia perlu
mendapatkan perhatian khusus terutama bagi pembelajaran khususnya bahasa
Indonesia sehingga bahasa Indonesia tidak akan terpinggirkan oleh bahasa asing
karena bahasa indonesia adalah bahasa persatuan.
Dalam kaitannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai
suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa daerah masing-masing,
bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu
tanpa meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial
budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Pada dasarnya
bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi antarsuku, antardaerah, yang
dimiliki Indonesia sebagai negara yang multikultural.
Selain sebagai alat pemersatu antarsuku, antarbudaya,
bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai bahasa kedinasan juga sebagai pengantar
di lembaga-lembaga pendidikan. Buku pelajaran pada umumnya ditulis dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan karya-karya ilmiah di perguruan tinggi pun
ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Selain itu bahasa Indonesia juga memiliki fungsi sebagai
bahasa Nasional dan bahasa Negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
Nasional adalah sebagai berikut:
Salah satunya yaitu :
Alat Perhubungan antar Warga, antar Daerah, dan antar Budaya, alat perhubungan antar warga , antar daerah,
dan antar suku bangsa. Berkat adanya bahasa nasional kita dapat berhubungan
satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga kesalah pahaman sebagai akibat
perbedaan latar belakang social budaya dan bahasa tidak perlu
dikhawatirkan.kita dapat bepergian dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain
di tanah air kita dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai
satu-satunya alat komunikasi.
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan
antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia juga telah berhasil menjalankan
fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu
masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup
mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan
bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan,
telah berkembang demikian pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan
betapa pun halusnya dapat diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya
rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan
bahasa Indonesia.
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi,
bahasa Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara
pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan
antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal
pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Dengan kata lain,
apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam
situasi formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia.
Lebih dalam lagi pada paparan selanjutnya akan dibahas
mengenai histori terbentuknya bahasa Indonesia, hubungan bahasa daerah dan
bahasa asing dengan bahasa Indonesia, pembakuan bahasa Indonesia, dan yang
terakhir mengenai kedudukan bahasa Indonesia.
Kedudukan keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam berbagai
macam media komunikasi. Misalnya saja Buku, Koran, Acara pertelevisian, Siaran
Radio, Website, dan sebagainya. Karena Indonesia adalah negara yang memiliki
beragam bahasa dan budaya, maka harus ada bahasa pemersatu diantara semua itu.
Hal ini juga berkaitan dengan Kedudukan keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa Nasional sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama,
ras, adat istiadat dan Budaya.
No comments:
Post a Comment