TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
A.PENDAHULUAN
Tanggung jawab sosial perusahaan
atau corporate social responsibility mungkin masih
kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun, tidak berlaku bagi
pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara
sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional
ratusan tahun lalu.Berbeda dengan kondisi Indonesia, di sini kegiatan CSR
baru dimulai beberapa tahun belakangan. Tuntutan masyarakat dan
perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar bebas,
sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Walaupun sudah lama
prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup
hukum perusahaan. Namun amat disesalkan dari hasil survey yang dilakukan oleh
Suprapto pada tahun 2005 terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukkan bahwa
166 atau 44,27 % perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR dan 209
atau 55,75 % perusahaan melakukan kegiatan CSR. Sedangkan bentuk CSR yang
dijalankan meliputi; pertama, kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan), kedua,
sumbangan pada lembaga agama (50 perusahaan), ketiga, sumbangan pada yayasan
social (39) perusahaan) keempat, pengembangan komunitas (4 perusahaan).
Pikiran-pikiran yang menyatakan kontra terhadap pengaturan CSR menjadi sebuah
kewajiban, disinyalir dapat menghambat iklim investasi baik bagi perseroan yang
sudah ada maupun yang akan masuk ke Indonesia. Atas dasar berbagai pro dan
kontra itulah tulisan ini diangkat untuk memberikan urun rembug terhadap
pemahaman CSR dalam perspektif kewajiban hukum.[1]
B. PEMBAHASAN
1.1. Pengertian Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan
Tanggung jawab sosial perusahaan
atau Corporate Social Responsibility (CSR) dapat didefinisikan
sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan eksternal perusahaan
melalui berbagai kegiatan yang dilakukan dalam rangka penjagaan lingkungan,
norma masyarakat,partisipasi pembangunan, serta berbagai bentuk tanggung jawab
sosial lainnya[2]. Selain
definisi diatas masih ada definisi lain mengenai tanggung jawab sosial
perusahaan yakni komitmen perusahaan dalam
pengembangan ekonomi yang berkesinambungan dalam kaitannya dengan
karyawan beserta keluarganya, masyarakat sekitar dan masyarakat luas pada
umumnya, dengan tujuan peningkatan kualitas hidup mereka.CSR harus
dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary,
tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai
dengan sanksi. Penanam modal baik dalam maupun asing tidak dibenarkan hanya
mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan pihak lain yang
terkai dan harus tunduk dan mentaati
ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika ingin menanamkan modalnya di
Indonesia. Komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan
menciptakan iklim investasi bagi penanam modal untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dapat tercapai melalui pelaksanaan CSR.
CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk
mengurangi praktek bisnis yang tidak etis[3].
1.2. Esensi Pengaturan Tanggung
Jawab Sosial Sebagai Kewajiban Hukum
Hubungan antara CSR dan implikasinya terhadap iklim
penanaman modal perlu kiranya mengetahui apa yang dimaksud dengan CSR.
Sampai saat ini belum ada kesamaan pandang mengenai konsep dan penerapan CSR,
meskipun kalangan dunia usaha menyadari bahwa CSR ini amat penting bagi
keberlanjutan usaha suatu perusahaan. Gurvy Kavei mengatakan, bahwa praktek CSR
dipercaya menjadi landasan fundamental bagi pembangunan berkelanjutan (sustainability
development), bukan hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi stakeholders dalam
arti keseluruhan[4].Hal
tersebut terlihat dari berbagai rumusan CSR yaitu sebagai berikut :
1. Dewan Bisnis Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan atau
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menyebutkan CSR
Astra Honda Motor sebagai "melanjutkan komitmen bisnis untuk berperilaku
etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi sambil meningkatkan
kualitas hidup tenaga kerja dan keluarganya sebagai wol pada masyarakat lokal
dan masyarakat besar ".
2.Penjelasan pasal 15 huruf b UU
Penanaman Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial
perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman
modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat “
3.Pasal 1 angka 3 UUPT , tangung
jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan
dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat
maupun masyarakat pada umumnya.
Jika ditarik pada berbagai pengertian di atas maka CSR
merupakan komitmen perusahaan terhadap kepentingan pada stakeholders dalam arti
luas dari sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan kata lain, meskipun
secara moral adalah baik bahwa perusahaan maupun penanam modal mengejar
keuntungan, bukan berarti perusahaan ataupun penanam modal
dibenarkan mencapai keuntungan dengan mengorbankan kepentingan-kepentngan
pihak lain yang terkait.
Dengan adanya ketentuan CSR sebagai sebuah kewajiban dapat
merubah pandangan maupun perilaku dari pelaku usaha, sehingga CSR tidak lagi
dimaknai sekedar tuntutan moral tetapi diyakinkan sebagai kewajiban perusahaan
yang harus dilaksanakan.Kesadaran ini memberikan makna bahwa perusahaan bukan
lagi sebagai entitas yang mementingkan diri sendiri, alienasi dan atau
eksklusifitas dari lingkungan masyarakat, melainkan sebuah entitas usaha yang
wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosial. Sehingga tidak
berkelebihan jika ke depan CSR harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility
karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna
liability karena disertai dengan sanksi[5].Menyikapi
kondisi yang ada tersebut, bahwa hukum sebagai produk kebijakan politik tidak
selamanya merupakan conditio sine qua non bagi tujuan yang
hendak dicapai. Hal ini menunjukkan hukum mempunyai batas-batas kemampuan
tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam komunitas
masyarakat, oleh karena itu Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama
dalah ”social engineering”. Dalam doktrin ini dikatakan bahwa hukum
harus dikembangkan sesuai dengan perubahan-perubahan nilai sosial. Untuk itu
sebaiknya diadakan rumusan-rumusan kepentingan yang ada dalam masyarakat yaitu
kepentingan pribadi, masyarakat dan umum[6].Dengan
demikian hukum bagi Roscoe Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law
is a tool of social engineering).Sehingga hokum bukan saja berdasarkan pada
akal, tetapi juga pengalaman. Akal diuji oleh pengalaman dan pengalaman yang
dikembangkan oleh akal.
Konteks tanggung jawab social (CSR) dalam hal ini ada
kewajiban bertanggung jawab atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau
sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang telah
ditimbulkan. Tanggung jawab social berada pada ranah moral, sehingga
posisinya tidak sama dengan hokum. Moral dalam tanggung ajwab social lebih
mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniha,
sikap inilah yang dikenal dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik
yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hokum lebih menekankan
pada ksesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersbeut secara
obyektif tidak salah, barangkali baik dan sesuai dengan pandanan moral, hokum,
dan nilai-nilai budaya masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak dapat
dijadikan dasar untuk menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau
maksud yang mendasarinya.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan
aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih
menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam
arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan
belaka.Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada
tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak
pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan-
perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak
negatif pada pihak-pihak tertentu dalam masyarakat. Sedangkan secara positif
hal ini mengandung makna bahwa perusahaan harus menjalankan kegiatannya
sedemikian rupa, sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang lebih baik dan
sejahtera.
Kondisi Indonesia masih menghendaki adanya CSR sebagai suatu
kewajiban hukum. Kesadarna akan adanya CSR masih rendah, kondisinya yang
terjadi adalah belum adanya kesadaran moral yang cukup dan bahkan seringkali
terjadi suatu yang diatur saja masih ditabrak, apalagi kalau tidak
diatur. Karena ketaatan orang terhadap hukum masih sangat rendah. CSR
lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan
tanggung jawab sosial, seperti : perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya
alam, “ngemplang” pajak, dan menindas buruh. Lalu, kebanyakan perusahaan juga
cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar.
Jika situasi dan kondisi yang terjadi masih seperti tersebut
di atas, maka hukum harus berperan. Tanggung jawab perusahaan yang semula
adalah tanggung jawab non hukum (responsibility) akan berubah menjadi
tanggung jawab hukum (liability). Otomatis perusahaan yang tidak
memenuhi perundang-undangan dapat diberi sanksi[7].
1.3.Tanggung jawab sosial dan
Implikasinya pada iklim penanaman modal di Indonesia
Penanaman modal dalam UUPM No. 25 Tahun 2007,
Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ”Penanaman modal adalah segala bentuk
kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam
modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”.Kehadiran
UUPM NO. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diharapkan, mampu memberikan
angin segar kepada investor dan memberikan iklim investasi yang menggairahkan.
Kenyamanan dan ketertarikan investor asing terutama apabila terciptanya sebuah
kepastian hukum dan jaminan adanya keselamatan dan kenyamanan terhadap modal
yang ditanamkan.Dengan adanya kepastian hukum dan jaminan kenyamanan serta
keamanan terhadap investor, tentunya akan meningkatkan daya saing Indonesia di
pasar global yang merosot sejak terjadinya krisis moneter. Berkaitan dengan hal
tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan
perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk menigkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan
teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai
apabila faktor penunjang yang menghambat iklim investasi dapat diatasi, antara
lain melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan Daerah,
penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal,
biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di
bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan faktor tersebut,
diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.
Penerapan kewajiban CSR sebabagaimana diatur dalam UU No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal , Pasal 15 huruf b menyebutkan ”Setiap
penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Jika
tidak dilakukan maka dapat diberikan sanksi administrasi berupa peringatan
tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan, hingga pencabutan kegiatan
usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat (1) UU No. 25 Tahun
2007). Sedangkan yang dimaksud “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah
tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap
menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan,
nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat[8].Ilustrasi
yang menggambarkan keinginan dari berbagai anggota dewan pada waktu itu adalah
kewajiban CSR terpaksa dilakukan lantaran banyak perusahaan multinasional yang
beroperasi di Indonesia, lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola
lingkungan. ”Pengalaman menunjukkan, bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya
melakukan kegiatan operasional tetapi kurang sekali memberikan perhatian
terhadap kepentingan sosial”. Beberapa contoh kasus , seperti : lumpur Lapindo
di Porong, lalu konflik masyarakat Papua dengan PT. Freeport Indonesia, konflik
masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, pencemaran
oleh Newmont di Teluk Buyat dan sebagainya.
Alasan lainnya adalah kewajiban CSR juga sudah diterapkan
pada perusahaan BUMN. Perusahaan-perusahaan pelat merah telah lama menerapkan
CSR dengan cara memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk pembangunan
fisik. Kewajiban itu diatur dalam Keputusan Menteri BUMN maupun Menteri
Keuangan sejak tahun 1997. ”oleh karena itu, perusahaan yang ada di Indonesia
sudah waktunya turut serta memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan
dimana perusahaan itu berada”.
CSR dalam UUPM dapat terlaksana jika dibarengi dengan
lembaga yang kuat dalam menegakkan aturan dan proses yang benar. Sebagaimana
dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, pengertian hukum yang memadai harus tidak
hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions)
dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan[9].
2. HUKUM PERUSAHAAN
2.1. Perbuatan Perniagaan
Secara
historis, hukum dagang adalah hukum perdata khusus bagi pedagang[10].Menurut
Pasal 2 KUHD (sudah dicabut), pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan
perniagaan sebagai pekerjaannya sehari-hari. Kemudian oleh Pasal 3 KUHD (lama)
disebutkan lagi bahwa perbuatan perniagaan pada umumnya adalah perbuatan
pembelian barang-barang untuk dijual kembali. Dari ketentuan Pasal 3 KHUD
(sudah dicabut) tersebut, H.M.N. Purwosutjipto mencatat:
1. Perbuatan perniagaan hanya perbuatan
pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk di dalamnya karena
penjualan merupakan tujuan pembelian itu; dan
2. Pengertian barang di sini berarti
barang bergerak. Jadi, tidak termasuk barang tetap.
Pasal 4 KUHD (sudah dicabut)
kemudian lebih merinci lagi beberapa kegiatan termasuk dalam kategori perbuatan
perniagaan, yaitu:
1. perusahaan komisi;
2. perniagaan wesel;
3. pedagang, bankir, kasir, makelar,
dan yang sejenis;
4. pembangunan, perbaikan, dan
perlengkapan kapal untuk pelayaran di laut;
5. ekspedisi dan pengangkutan barang;
6. jual-beli perlengkapan dan keperluan
kapal;
7. rederij, carter kapal, bordemerij, dan perjanjian lain tentang perniagaan
laut;
8. mempekerjakan nahkoda dan anak buah
kapal untuk keperluan kapal niaga;
9. perantara (makelar) laut, cargadoor, convoilopers, pembantu-pembantu pengusaha
perniagaan, dan lain-lain.
10. perusahaan asuransi
Pasal
5 KUHD (sudah dicabut) menambahkan lagi kegiatan yang termasuk dalam kategori
perbuatan perniagaan, yaitu perbuatan-perbuatan yang timbul dari
kewajiban-kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut, kewajiban-kewajiban
mengenai tubrukan kapal, tolong-menolong dan menyimpan barang-barang di laut
yang berasal dari kapal karam atau terdampar, begitu pula penemuan barang-barang
di laut, pembuangan barang-barang di laut ketika terjadi avarai (avarij).
Pasal
2 sampai dengan Pasal 5 tersebut telah dicabut oleh Stb.1938-276 yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Juli
1936. Ketentuan ini juga mengganti istilah perbuatan perniagaan istilah
perusahaan[11].
2.2. Perusahaan dan
Menjalankan Perusahaan
Berbeda
dengan istilah perbuatan perniagaan yang terdapat dalam Pasal 2 sampai 5 KUHD
(sudah dicabut) yang secara rinci menjelaskan makna perbuatan perniagaan
tersebut, istilah perusahaan dan menjalankan perusahaan yang dianut KUHD
sekarang tidak ada penjelasan atau perinciannya. Menurut H.M.N. Purwosutjipto,
hal tersebut rupanya memang disengaja oleh pembentuk undang-undang, agar
pengertian perusahaan berkembang baik dengan gerak langkah dalam lalu lintas
perusahaan sendiri. Pengembangan makna tersebut diserahkan kepada dunia ilmiah
dan yurisprudensi[12].Dalam
perkembangannya, definisi otentik perusahaan dapat pula ditemukan di dalam
beberapa undang-undang.Menurut Pemerintah Belanda ketika membacakan Memorie van Toelichting (Penjelasan) Rencana
Undang-Undang Wetboek van Koophandel di muka parlemen menyebutkan, bahwa
perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus,
dengan terang-terangan dalam kedudukan tertentu, dan untuk mencari laba bagi
dirinya sendiriMenurut Molengraaf, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang
dilakukan secara terus menerus, bertindak ke luar untuk mendapatkan
penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang atau mengadakan
perjanjian perdagangan.
POLAK
berpendapat bahwa, baru ada perusahaan jika diperlukan adanya perhitungan
laba-rugi yang dapat diperkirakan dan segala sesuatu dicatat dalam pembukuan.Perkembangan pengertian perusahaan dapat dijumpai
dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Wajib Daftar Perusahaan, dan UU No. 8 Tahun
1997 tentang Dokumen Perusahaan.Menurut Pasal 1 Huruf b UU No. 3 Tahun 1982,
perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan
didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia untuk
tujuan memperoleh keuntungan atau laba.Pasal 1 Butir 2 UU No. 8 Tahun 1997
mendefinisikan perusahaan sebagai bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara
tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba baik
yang diselenggarakan oleh orang perseorangan maupun badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam
wilayah negara Republik Indonesia[13].
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai perusahaan jika memenuhi
unsur-unsur di bawah ini:
1. Bentuk usaha, baik yang dijalankan
secara orang perseorangan atau badan usaha;
2. Melakukan kegiatan secara tetap dan
terus menerus; dan
3.Tujuannya
adalah untuk mencari keuntungan atau laba[14].
2.3. Perusahaan Perseorangan
Perusahaan
perseorangan adalah perusahaan yang dilakukan oleh satu orang pengusaha. Di
dalam perusahaan perseorangan ini yang menjadi pengusaha hanya satu orang.
Dengan demikian modal perusahaan tersebut hanya dimiliki satu orang pula. Jika
di dalam perusahaan tersebut banyak orang bekerja, mereka hanyalah pembantu
pengusaha dalam perusahaan berdasarkan perjanjian kerja atau pemberian kuasa.
Di
dalam KUHD maupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak dijumpai adanya
pengaturan khusus mengenai perusahaan perseorangan sebagaimana halnya bentuk
usaha lainnya seperti Perseroan Terbatas (PT), Persekutuan Komanditer (CV),
atau juga Koperasi. Menurut H.M.N. Purwosutjipto, bentuk perusahaan
perseorangan secara resmi tidak ada. Di dalam dunia bisnis, masyarakat telah
mengenal dan menerima bentuk perusahaan perseorangan yang disebut Perusahaan
Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD). Misalnya PD Lautan Mas dan PD Jin Lung.Bentuk
perusahaan yang berwujud PD atau UD itu, di Inggris dikenal dengan
sebagai Sole Traders. Di Amerika Serikat dikenal sebagai Sole Proprietorships. Perusahaan yang demikian ini
merupakan tipe organisasi bisnis atau perusahaan yang paling sederhana di mana
seorang proprietor memiliki sendiri seluruh kekayaan at1au asset perusahaan dan bertanggungjawab sendiri pula
atas seluruh utang perusahaan.
Di
dalam dunia bisnis kecil, perusahaan perseorangan yang berbentuk Perusahaan
Dagang (Usaha Dagang) atau Sole Traders atau Sole Proprietorship lebih umum digunakan daripada
bentuk perusahaan lainnya[15].
2.4. Persekutuan Perdata
a.pengertian
persekutuan perdata
Persekutuan
perdata adalah padanan dan terjemahan dari burgerlijk maatschap. Didalam
common law system dikenal dengan istilah partnership. Kemudian
di dalam hukum Islam dikenal dengan istilah sharikah atau shirkah. Persekutuan adalah suatu bentuk
dasar bisnis atau organisasi bisnis[16].
Persekutuan
perdata menurut Pasal 1618 KUHPerdata ada perjanjian antara dua orang atau
lebih mengikat diri untuk memasukkan sesuatu (inbrengen) ke dalam
persekutuan dengan maksud membagi keuntungan yang diperoleh karenanya.
Dari ketentuan Pasal 1618 KUHPerdata
tersebut, dapat ditarik beberapa unsur yang terdapat di dalam persekutuan
perdata, yaitu:
1. adanya suatu perjanjian kerjasama
antara dua orang atau lebih;
2. masing-masing pihak harus memasukkan
sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng); dan
3. bermaksud membagi keuntungan
bersama.
Angela
Schneeman mendefinisikan partnership sebagai
suatu asosiasi yang terdiri dari dua orang atau lebih melakukan kepemilikan
bersama suatu bisnis untuk mendapatkan keuntungan. Partnership dapat juga diartikan sebagai suatu
perjanjian (agreement) diantara dua orang atau lebih untuk
memasukkan uang, tenaga kerja, dan keahlian ke dalam suatu perusahaan, untuk
mendapatkan keuntungan yang dibagi bersama sesuai dengan bagian atau proporsi
yang telah disepakati bersama[17].
Di
Inggris, menurut Pasal 1 Partnership Act 1890 persekutuan perdata adalah
hubungan antara orang yang menjalankan kegiatan bisnis dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan (partnership is relation which
subsists between persons carrying a business in common with a view to profit).
Di
Malaysia, persekutuan perdata ini dikenal dengan istilah ‘perkongsian”.
Perkongsian menurut Seksysen 3(1)
Akta Perkongsian (Partnership Act) 1961 (yang telah diperbaharui pada 1974)
adalah “perhubungan yang wujud antara orang-orang yang menjalankan
perniagaan” (the relation which subsist
between persons carrying on business in common with a view of profit)[18].
Dari
persekutuan perdata baik yang dianut di Inggris, Amerika Serikat, dan Malaysia
dapat ditarik beberapa unsur yang melekat dalam persekutuan perdata yakni;
1. Ketentuan di atas secara tegas tidak
memasukkan persekutuan perdata sebagai perusahaan yang terdaftar berdasarkan
ketentuan perundang-undangan perusahaan;
2. Persekutuan perdata merupakan
hubungan kontraktual;
3. Persekutuan itu menjalankan suatu
kegiatan bisnis;
4. Persekutuan didirikan dan dijalankan
dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan.
Dengan demikian, dapat ditarik
simpulan bahwa persekutuan perdata baik dalam sistem hukum Indonesia maupun
dalam sistem common law memiliki kesamaan, Kesamaan itu terletak pada hubungan
para sekutu didasarkan perjanjian. Dengan perkataan lain, persekutuan perdata
tunduk ada hukum perjanjian.
Orang
(person) yang melakukan kerjasama di dalam persekutuan
tersebut dapat berupa perorangan, persekutuan perdata, perusahaan yang berbadan
hukum, atau bentuk persekutuan lainnya.Makna bisnis (business)
di dalam definisi persekutuan di atas mencakup setiap aktivitas atau kegiatan
dalam bidang perdagangan dan pekerjaan (occupation)
atau profesi (profession). Dengan demikian,
persekutuan perdata dapat merupakan suatu wadah untuk menjalankan kegiatan yang
bersifat komersial dan profesi seperti pengacara (advokat) dan akuntan[19].
Dari
makna persekutuan perdata di atas, jelas bahwa jumlah sekutu dalam persekutuan
perdata minimal ada dua orang. KUHPerdata tidak menyebutkan berapa jumlah
maksimal sekutu dalam persekutuan. Di dalam Akta Perkongsian Malaysia diatur
jumlah maksimal sekutu (pekongsi) dalam
persekutuan perdata. Seksysen 14 dan 47 (2) Akta Perkongsian menentukan bahwa,
jumlah maksimum bagi sekutu adalah dua puluh orang, dan bagi persekutuan
menjalankan profesi maksimum tiga puluh orang dengan syarat profesi itu
hendaklah sesuatu yang lazimnya tidak dijalankan oleh “syarikat” atau badan
perniagaan yang diatur berdasarkan Akta Syarikat[20].
Badan
Usaha yang Berbentuk Persekutuan :
Ø Persekutuan Perdata (Burgerlijk Maatschap, Partnership)
Ø Persekutuan dengan Firma (Firm)
Ø Persekutuan Komanditer (Limited Partnership)
b. hukum persekutuan perdata
Penguraian
bagian persekutuan perdata ini dimulai dengan menguraikan makna hukum
persekutuan terlebih dahulu. Di dalam hukum Inggris hukum persekutuan dikenal
dengan istilah company law. Di dalam hukum Inggris
apa yang dimaksud dengan company law adalah
himpunan hukum atau ilmu hukum mengenai bentuk-bentuk kerjasama baik yang tidak
berstatus badan hukum (partnership) maupun yang berstatus
badan hukum (corporation)[21].
Di
dalam hukum Belanda, pengertian vennotschapsretchts lebih
sempit, yaitu sekedar terbatas pada NV, firma, dan CV yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan persekutuan perdata yang dianggap sebagai
induknya yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata[22].
Hukum
persekutuan merupakan himpunan hukum atau ilmu hukum yang mempelajari
bentuk-bentuk kerjasama. Jika dikaitkan dengan dunia perniagaan, maka ia dapat
disebut sebagai hukum persekutuan perniagaan atau hukum perusahaan sebagai
kerjasama bisnis yang bersifat komersial. Di dalam hukum Inggris disebut dengan
istilah corporation law yang mencakup kerjasama yang
bersifat komersial dan non komersial. Namun demikian, sebenarnya di dalam
hukum Inggris tidak ada pembedaan secara tegas mengenai sifat komersial dan non
komersial itu. Jika perlu mereka menyebutnya sebagai business
corporation[23].
C. PENUTUP
Berdasarkan latar belakang dan
pembahasan di atas maka kesimpulan yang dapat diambil dalam tulisan ini adalah
sebagai berikut : pelaksanaan tanggung jawab sosial yang baik dan benar sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku akan berimplikasi pada iklim penanaman modal
yang kondusif. Untuk bisa mewujudkan setiap pelaku usaha (investor) baik dalam
maupun asing yang melakukan kegiatan di wilayah RI wajib melaksanakan aturan
dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya pemerintah
sebagai regulator wajib dan secara konsisten menerapkan aturan dan sanksi
apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjosisworo Soejono, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman
Modal, di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999.
John Elkington, Cannibals with Forks,The Triple
Bottom Line of Twentieth Century Business, dikutip dari Teguh Sri Pembudi,
CSR, Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial, Pusat Penyuluhan Sosial
(PUSENSOS) Departemen Sosial RI, Jakarta, La Tofi Enterprise, 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung
Roscoe Pound dalam Mas Soebagio dan Slamet Supriatna, Dasar-Dasar
Filsafat, Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta,
1992
Sonny A . Keraf, Etika BIsnis : Tuntutan dan
Relevansinya, Yogyakarta, Kanisius, 1998,
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
[1] Suprapto, Siti
Adipringadi Adiwoso, 2006,Pola Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan Lokal di Jakarta, Galang vol. 1 No. 2, Januari
2006.
[2] Commission of The
European Communities,2001.
[4] Gurvy Kavei
dalam Teguh, Tanggung Jawab Sosial Harus
Dilakukan, Yogyajarta, 2006.
[5] Pascal 74 ayat
(3) UUPT yang menyatakan “perseroan yang
tidak melaknakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.
[6] Roscoe Pound
dalam Mas Soebagio dan Slamet Supriatna,
Dasar-Dasar Filsafat, Suatu Pengantar ke Filsafat Hukum, Akademika
Presindo, Jakarta, 1992, h. 68.
[7] Sonny A . Keraf, Etika BIsnis : Tuntutan dan Relevansinya,
Yogyakarta, Kanisius, 1998, h. 122-127.
[8] Penjelasan Pasal 15 huruf b Undang-Undang No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal.
[9] Mochtar
Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, h. 14.
[10] H.M.N.
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum
Dagang Indonesia, Jilid I (Jakarta,
Djambatan, 1981), hlm. 9
[11] Ibid.
[12] Ibid, hlm 12.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Angela
Schneeman, The Law of Corporation,
Partnerships, and Sole Proprietorships(New York: Delmar Publisher, 1997),
hlm. 1
[16] David Kelly, et.al,Business Law, (London, Cavendish
Publishing Limited, 2002), hlm 305.
[17] Angela
Schneeman, op.cit., hlm. 17 – 18.
[18] Shaik Mohd. Noor
Alam S.M. Hussain,Undang-Undang Komersil
Malaysia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2000), hlm 248
[19] Ibid, loc.cit.
[20] Shaik Mohd. Noor
Alam S.M. Hussain, op.cit, hlm 249.
[21] Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995),
hlm. 46.
[22] Ibid.pengaturan hukum perdata dan hukum
dagang.
[23] Ibid, hlm 47.
No comments:
Post a Comment