KATA PENGANTAR
Makalah ini dibuat dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah Agama, adapun tema makalah ini Thaharah.
Dalam membuat makalah
ini,dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang penulis miliki,penulis berusaha
mencari sumber data dari berbagai sumber informasi,terutama Kegiatan penyusunan
makalah ini memberikan penulis tambahan ilmu pengetahuan yang dapat
bermanfaat bagi kehidupan Kita.
Penulis ucapkan terima
kasih kepada Agama
Ibu ZAHRIYANTI,SPd.I.M.A sebagai pengajar mata kuliah Agama yang
telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
Matamgglumpang
dua, Maret 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Allah
itu bersih dan suci. Untuk menemuinya, manusia harus terlebih dahulu bersuci
atau disucikan. Allah mencintai sesuatu yang bersih dan suci. Dalam hukum Islam
bersuci dan segala seluk beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang
penting terutama karena diantaranya syarat-syarat sholat telah ditetapkan bahwa
seseorang yang akan melaksanakan sholat, wajib suci dari hadas dan suci pula
badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak
terlepas dari sesuatu (barang) yang kotor dan najis sehingga thaharah dijadikan
sebagai alat dan cara bagaimana mensucikan diri sendiri agar sah saat
menjalankan ibadah.
1.2.RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan thaharah?
2. bagaimanakah
dalil dan kedudukannya dalam berthaharah?
3. apa-apa
saja syarat dan rukun berthaharah?
4. bagaimana tata cara pelaksanaan thaharah
dalam menghilangkan najis,bersuci dari hadas,berwudhu,dan bertayamum?
1.3.TUJUAN
1. Ingin
mengetahui tentang thaharah.
2. Ingin
mengetahuisyarat dan rukun thaharah.
3. Memahami
cara-cara bersuci dari hadas dan najis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.PENGERTIAN
THAHARAH,DALIL TENTANG THAHARAH,DAN
KEDUDUKANNYA
KENAPA THAHARAH DULU?
Kalau
anda membuka kitab-kitab fiqih, niscaya akan anda dapati bahwa para
ulama memulainya dengan kitab thaharah. Apa rahasia dan sebabnya?! Minimal
ada tiga alasan di balik itu semua:
Pertama: Karena
thaharah merupakan syarat sahnya shalat yang merupakan ibadah
yang paling utama.
Kedua: Pembersihan
itu sebelum perhiasan. Seperti kalau ada anak putri yang masih kotor penuh
debu dan kita ingin memakaikan padanya baju baru dan perhiasan, apakah akan
langsung kita pakaikan ataukah kita memandikannya terlebih dahulu?! Demikian
pula thaharah, dia adalah pembersihan dan shalat adalah perhiasannya.
Ketiga: Sebagaimana
seorang membersihkan badannya maka hendaknya dia juga membersihkan hatinya. Hal
ini merupakan peringatan kepada pembaca atau penuntut ilmu agar meluruskan
niatnya terlebih dahulu dari kotoran-kotoran hati.
2.2.Pengertian
Thaharah
Thaharah menurut
bahasa ialah bersih dan bersuci dari segala kotoran, baik yang nyata seperti
najis, maupun yang tidak nyata seperti aib. Menurut istilah para fuqaha’ berarti
membersihkan diri dari hadas dan najis, seperti mandi berwudlu dan bertayammum.
(Saifuddin Mujtaba’, 2003:1)
Suci
dari hadas ialah dengan mengerjakan wudlu, mandi dan tayammum. Suci
dari najis ialah menghilangkan najis yang ada di badan, tempat dan pakaian.
Urusan bersuci meliputi beberapa perkara
sebagai berikut:
a. Alat
bersuci seperti air, tanah, dan sebagainya.
b. Kaifiat (cara)
bersuci.
c. Macam
dan jenis-jenis najis yang perlu disucikan.
d. Benda
yang wajib disucikan.
e. Sebab-sebab
atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.
Allah
berfirman dalam Al-Qur’an:
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS.
2:222)
Adapun thaharah dalam ilmu fiqh ialah:
a. Menghilangkan
najis.
b. Berwudlu.
c. Mandi.
d. Tayammum.
Alat
yang terpenting untuk bersuci ialah air. Jika tidak ada air maka tanah, batu
dan sebagainya dijadikan sebagai alat pengganti air.
Macam-macam air
Air yang dapat dipergunakan untuk bersuci ada tujuh
macam:
1. Air
hujan.
2. Air
sungai.
3. Air
laut.
4. Air
dari mata air.
5. Air
sumur.
6. Air
salju.
7. Air
embun.
Pembagian air
Air tersebut dibagi menjadi 4, yaitu :
1. Air mutlak (air yang suci dan
mensucikan), yaitu air yang masih murni, dan tidak bercampur dengan sesuatu
yang lain.
2. Air musyammas (air yang
suci dan dapat mensucikan tetapi makhruh digunakan), yaitu air yang dipanaskan
dengan terik matahari di tempat logam yang bukan emas.
3. Air musta’mal (air suci
tetapi tidak dapat mensucikan), yaitu air yang sudah digunakan untuk bersuci.
4. Air mutanajis (air yang
najis dan tidak dapat mensucikan), yaitu air telah kemasukan benda najis atau
yang terkena najis.
Adapun
thaharah daripada najis dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Istinja,
yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan air yang
suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati
kedudukan air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air.
2. Memercikkan
Air,
yaitu memercikkan air ke bagian yang terkena najis kecil (mukhaffafah).
3. Mencuci
atau membasuh dengan air, yaitu dengan membasuh dengan air yang
mengalir sampai pada bagian yang terkena najis sedang (mutawasithah) hilang
tanda-tanda kenajisannya.
4. Menyamak,hal
ini dilakukan untuk menyucikan diri dari najis berat.
Adapun thaharah daripada
hadats dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Wudhu, yaitu
membasuh muka, kedua tangan, kepala dan kedua kaki dengan air, untuk mensucikan
diri kita dari hadats kecil.
2. Tayamum, yaitu
membasuh muka dan kedua tangan dengan tanah suci sebagai pengganti wudhu jika
air tidak ditemukan, untuk mensucikan diri kita dari hadats kecil.
Allah swt berfirmanـ,
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al Maidah :
6)
3. Mandi,
yaitu mensucikan diri dari hadats besar dengan membasuh secara merata ke
seluruh tubuh dengan air.
2.3.TATA
CARA PELAKSANAAN THAHARAH
a. Bersuci
menghilangkan najis.
Najis
menurut bahasa ialah apa saja yang kotor, baik jiwa, benda maupun amal
perbuatan. Sedangkan menurut fuqaha’ berarti kotoran (yang
berbentuk zat) yang mengakibatkan sholat tidak sah.
1.Benda-benda najis
a)
Bangkai (kecuali bangkai ikan dan belalang)
b)
Darah
c)
Babi
d)
Khamer dan benda cair apapun yang memabukkan
e)
Anjing
f)
Kencing dan kotoran (tinja) manusia maupun
binatang
g)
Susu binatang yang haram dimakan dagingnya
h)
Wadi dan madzi
i)
Muntahan dari perut
Macam-macam
najis :
Najis dibagi menjadi 3 bagian:
1. Najis mukhaffafah (ringan),
ialah air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah
makan sesuatu kecuali ASI.
Cara mensucikannya, cukup dengan memercikkan air ke
bagian yang terkena najis sampai bersih.
2. Najis mutawassithah (sedang),
ialah najis yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang, kecuali air
mani.
Najis ini dibagi menjadi dua:
a. Najis ‘ainiyah,
ialah najis yang berwujud atau tampak.
b. Najis hukmiyah,
ialah najis yang tidak tampak seperti bekas kencing atau arak yang sudah kering
dan sebagainya.
Cara
mensucikannya, dibilas dengan air sehingga hilang semua sifatnya (bau, warna,
rasa dan rupanya.
3. Najis mughallazah (berat),
ialah najis anjing dan babi.
Cara mensucikannya, lebih dulu dihilangkan wujud benda
najis itu, kemudian dicuci dengan air bersih 7 kali dan salah satunya dicampur
dengan debu.
Najis
yang dimaafkan :
1)
Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir
seperti nyamuk, kutu, dan sebagainya.
2)
Najis yang sangat sedikit.
3)
Darah bisul dan sebangsanya.
4)
Kotoran binatang yang mengenai biji-bijian
yang akan ditebar, kotoran binatang ternak yang mengenai susu ketika diperah.
5)
Kotoran ikan d dalam air.
6)
Darah yang mengenai tukang jagal.
7)
Darah yang masih ada pada daging.
b.Bersuci dari hadas
Hadas
menurut makna bahasa “peristiwa”. Sedangkan menurut syara’ adalah perkara yang
dianggap mempengaruhi anggora-anggota tubuh sehingga menjadikan sholat dan
pekerjaan-pekerjaan lain yang sehukum dengannya tidak sah karenanya, karena tidak ada sesuatu yang
meringankan.
Hadas dibagi menjadi dua :
1) Hadas kecil, adalah perkara-perkara yang
dianggap mempengaruhi empat anggota tubuh manusia yaitu wajah, dua tangan dan
dua kaki. Lalu menjadikan sholat dan semisalnya tidak sah. Hadas kecil ini
hilang dengan cara berwudlu.
2) Hadas besar, adalah perkara yang
dianggap mempengaruhi seluruh tubuh lalu menjadikan sholat dan
pekerjaan-pekerjaan lain yang sehukum dengannya tidak sah. Hadas besar ini bisa
hilang dengan cara mandi besar.
c.Berwudhu
1.
Pengertian Wudlu
Wudlu secara bahasa berarti keindahan dan kecerahan.
Sedangkan menurut istilah syara’ bersuci dengan air dalam rangka menghilangkan
hadas kecil yang terdapat pada wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki
disertai dengan niat.
2.Syarat
Wudhu
Islam
Ø Mumayiz (dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan).
Ø Tidak berhadas besar.
Ø Dengan air yang suci dan menyucikan.
Ø Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit seperti getah dsb yang melekat di atas kulit anggota wudhu.
Ø Mumayiz (dapat membedakan baik buruknya sesuatu pekerjaan).
Ø Tidak berhadas besar.
Ø Dengan air yang suci dan menyucikan.
Ø Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit seperti getah dsb yang melekat di atas kulit anggota wudhu.
3.Rukun Wudlu
Antara lain:
a.
Niat
b.
Membasuh muka
c.
Membasuh dua tangan sampai siku
d.
Mengusap sebagian kepala
e.
Membasuh kaki sampai mata kaki
f.
Tertib, artinya urut.
4. Sunnah Wudlu
a.
Membaca basmallah
b.
Membasuh tangan sampai pergelangan terlebih
dahulu
c.
Berkumur-kumur
d.
Membersihkan hidung
e.
Menyela-nyela janggut yang tebal
f.
Mendahulukan anggota yang kanan
g.
Mengusap kepala
h.
Menyela-nyela jari tangan dan jari kaki
i.
Megusap kedua telinga
j.
Membasuh sampai tiga kali
k.
Berturut-turut
l.
Berdo’a sesudah wudlu
5.Hal-hal yang membatalkan wudlu
a.
Keluarnya sesuatu dari dua jalan
b.
Tertidur dengan posisi tidak duduk yang tetap
c.
Hilangnya akal (gila, pingsan, mabuk dan
sebagainya)
d.
Tersentuh kemaluan dengan telapak tangan
e.
Tersentuhnya kulit laki-laki dengan kulit
perempuan yang bukan muhrim dan tidak beralas
d.TAYAMMUM
1.Pengertian
Tayammum
adalah salah satu cara bersuci, sebagai ganti berwudlu atau mandi apabila
berhalangan memakai air. (Imam Zarkasyi, 1995:20)
2.Syarat tayammum
a. Islam
b. Tidak
ada air dan telah berusaha mencarinya, tetapi tidak bertemu
c. Berhalangan
mengguankan air, misalnya karena sakit yang apabila menggunakan air akan kambuh
sakitnya
d. Telah
masuk waktu shalat
e. Dengan
debu yang suci
f. Bersih
dari Haid dan Nifas
3. Rukun tayammum
a.
Niat
b.
Mengusap muka dengan debu dari tangan yang
baru dipukulkan atau diletakkan ke debu
c.
Mengusap kedua tangan sampai siku, dengan
debu dari tangan yang baru dipukulkan atau diletakkan ke debu, jadi dua kali
memukul.
d.
Tertib
4. Sunnah
tayammum
a.
Membaca basmallah
b.
Mendahulukan anggota kanan
c.
Menipiskan debu di telapak tangan
d.
Berturut-turut
5. Hal-hal
yang membatalkan tayammum
a.
Semua yang membatalkan wudlu
b.
Melihat air, bagi yang sebabnya ketiadaan air
c.
Karena murtad
e.MANDI
1. Pengertian
Mandi
dalam bahasa arab al ghuslu artinya mengalirkan alir pada apa
saja. Menurut pengertian syara’ berarti meratakan air yang suci pada seluruh
tubuh disertai dengan niat. Pengertian lain ialah mengalirkan air ke seluruh
tubuh baik yang berupa kulit, rambut, ataupun kuku dengan memakai niat
tertentu. Mandi ini ada yang hukumnya wajib dan ada yang sunnah.
2. Hal-hal yang
mewajibkan mandi (mandi besar/ mandi wajib)
a.
Hubungan suami istri
b.
Mengeluarkan mani
c.
Mati
d.
Haid
e.
Nifas
f.
Wiladah (melahirkan)
3. Rukun
mandi
a.
Niat
b.
Menghilangkan najis bila terdapat pada
badannya
c.
Meratakan air ke seluruh tubuh, baik berupa
rambut maupun kulit
4. Sunnah
mandi
a.
Membaca basmallah
b.
Berwudlu sebelum mandi
c.
Menggosok badan dengan tangan
d.
Menyela-nyela pada rambut yang tebal
e.
Membasuh sampai tiga kali
f.
Berturut-turut
g.
Mendahulukan anggota yang kanan
h.
Memakai basahan
2.4.DALIL
TENTANG THAHARAH
Beberapa dalil yang mewajibkan thaharah
adalah sebagai berikut :
اِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang bertobat dan dia mencintai orang-orang yang suci bersih. (Q.S Al-Baqarah :
222)
Firman Allah Swt (Q.S Al-Anfal : 11)
إِذْ
يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ
مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ
عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأقْدَامَ
“Diturunkan-Nya untukmu air dari langit
supaya kamu bersuci dengannya”
Semua jenis air tersebut diatas tetap suci
dan menyucikan kendatipun telah berubah sifatnya (warna, rasa dan baunya) dalam
arti bahwa perubahan itu terjadi karena.
Sabda Rasulullah Saw :
اَلْمَاءُ لاَ يُنَجِسُهُ شَيْءٌ اِلاَّ مَا غَلَبَ
طَعْمِهِ اَوْلَوْنِهِ اَوْرِيْحَهِ
“Air itu tidak menajdi najis kecuali jika
berubah rasanya atau warnanya atau baunya” (R. Ibnu Majah & Baihaqi)
Sabda Rasulullah Saw :
لَمَا يُقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ
حَتَّى يَتَوَضَّاءَ
“Allah tidak menerima shalat seseorang yang
berhadas hingga ia berwudu (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalil yang mewajibkan istinjak
تَنَزَّ هُوَا مِنَ الْبَوْلِ فَاِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ
الْقَبْرِ مِنْهُ
Bersucilah kamu setelah buang air kecil,
karena sesungguhnya kebanyakan siksa kubur adalah lantaran buang air kecil. (R.
Daruqutni)
Adapun cara bersuci bagi orang yang sakit adalah:
1. Orang yang sakit harus bersuci dengan
air, wudhu dan hadats kecil dan mandi dari hadats besar.
2. Jika tidak sanggup bersuci dengan
menggunakan air karena kondisinya yang memang lemah atau karena khawatir
sakitnya bertambah parah atau menunda kesembuhannya, maka dia boleh
bertayammum.
3. Adapun cara bertayammum: Telapak
tangan ditempelkan di debu yang bersih dengan sekali tempelan, lalu
ditepis-tepiskan agar debunya tidak terlalu banyak, lalu mengusap ke seluruh
wajah. Kemudian menempelkan lagi di debu, lalu saling diusapkan tangan antara
yang satu dan lainnya.
4. Jika dia sendiri tidak bisa wudhu atau
tayammum, maka orang lain bisa mewudhukan atau menayammuminya.
5. Jika di sebagian anggota thaharah
terdapat luka, maka dia tetap harus membasuhinya dengan air. Namun jika terkena
air, luka itu bertambah parah, maka tangannya cukup dibasahi air, lalu
diusapkan di permukaan luka sekedarnya saja. Jika ini pun tidak memungkinkan,
maka dia bisa bertayammum.
6. Jika anggota thaharah ada yang patah,
lalu ditutup perban atau digips, maka dia cukup mengusapnya dengan air dan
tidak perlu bertayammum. Sebab usapan itu sudah dianggap sebagai pengganti dari
mandi.
7. Boleh mengusapkan tangan ke dinding
saat tayammum, atau ke tempat lain yang memang suci dan juga mengandung debu.
Jika dinding itu dilapisi sesuatu yang bukan dari jenis tanah, seperti dicat,
maka tidak boleh tayammum padanya, kecuali memang di situ ada unsur debunya.
8. Jika tidak memungkinkan tayammum di
tanah atau di dinding atau sesuatu yang ada debunya, maka boleh saja meletakkan
tangan di sapu tangan umpamanya, yang di atasnya ditaburi debu.
9. Jika dia tayammum untuk satu shalat,
kemudian tetap dalam keadaan suci hingga masak waktu shalat berikutnya, maka
dia bisa shalat dengan tayammum untuk shalat yang pertama. Sebab dia masih
dalam keadaan suci dan tidak ada sesuatu pun yang membatalkannya.
10. Orang yang sakit harus membersihkan
badannya dari berbagai jenis najis selagi dia sanggup untuk melakukannya. Jika
tidak bisa, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu
mengulang shalatnya setelah suci.
11. Orang yang sakit harus shalat dengan
pakaian yang suci. Jika di pakaiannya ada najis, maka dia harus mencucinya atau
menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika tidak memungkinkan, maka dia
bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun, dan tidak perlu mengulang shalatnya
setelah suci.
12. Orang yang sakit harus shalat di atas
sesuatu atau di tempat yang suci. Jika tempatnya itu ada najisnya, maka harus
dicuci atau diganti dengan yang suci atau dilapisi sesuatu yang suci. Apabila
tidak memungkinkan, maka dia bisa shalat dalam keadaan seperti apa pun dan
tidak perlu mengulang shalatnya setelah suci.
13. Orang yang sakit tidak boleh
menangguhkan shalatnya dari waktunya karena alasan ketidakmampuan dalam
bersuci. Dia harus bersuci menurut kesanggupannya, kemudian shalat pada
waktunya, sekalipun di badan, pakaian atau tempatnya terdapat najis.
2.5.Fatwa-fatwa tentang Thaharah
1.
Thaharah dan shalat orang yang tidak kuat menahan keluarnya kencing.
Syaikh berkata, “Dia
tidak boleh wudhu untuk shalat kecuali setelah masuk waktu shalat. Setelah
mencuci kemaluannya, dia bisa melapisi dengan sesuatu agar air kencingnya tidak
mengenai pakaian dan badannya. Sesudah itu dia bisa wudhu dan shalat. Dia bisa
shalat beberapa kali shalat wajib dan nafilah. Jika ingin mengerjakan shalat
nafilah bukan pada waktu shalat, maka dia bisa mengerjakan cara serupa, lalu
wudhu dan shalat.”
2.
Orang yang terus-menerus kentut, bagaimana cara bersuci dan
shalatnya?
Syaikh berkata, “Jika
tidak memungkinkan baginya untuk menahan kentut, artinya kentut itu keluar
tanpa disengaja, maka hukumnya sama dengan hukum orang yang tidak kuat menahan
keluarnya kencing. Dia bisa wudhu setelah masuk waktu shalat lalu mendirikan
shalat. Jika waktu kentut itu disertai keluarnya kotoran tepat pada waktu
shalat, maka shalatnya tidak batal. Allah telah berfirman:
“Bertakwalah kepada
Allah menurut kesanggupan kalian.” (At-Taghabun: 16)
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
3.
Apakah wudhu menjadi batal karena pingsan?
Syaikh menjawab
pertanyaan ini, “Benar. Pingsan membatalkan wudhu, sebab pingsan lebih parah
daripada tidur. Sementara tidur sendiri membatalkan wudhu jika terlalu lelap.
Sebab orang yang tidur terlelap tidak bisa tahu andaikata ada sesuatu yang
keluar darinya.”
4.
Jika ada di badan orang yang sakit, bisakah dia bertayammum?
Syaikh menjawab
pertanyaan ini, “Dia tidak boleh bertayammum dalam keadaan seperti itu. Jika
memungkinkan, dia harus mencuci najis itu. Jika tidak, maka dia bisa shalat
dalam keadaan seperti apa pun tanpa harus tayammum. Sebab tayammum tidak
berpengaruh terhadap hilangnya najis. Yang dituntut darinya adalah kebersihan
badannya dari najis. Jadi, sekalipun dia tayammum, toh najisnya tidak hilang
dari badan dan tidak bisa menghilangkan najis dari badan.”
5.
Jika orang yang sakit mengalami junub, padahal dia tidak
memungkinkan menggunakan air, maka apakah dia boleh tayammum?
Syaikh menjawab, “Jika
orang yang sakit junub, padahal dia tidak bisa menggunakan air, maka dia boleh
bertayammum. Hal ini didasarkan kepada firman Allah,
“Dan, jika kalian
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih), sapulah muka kalian dan tangan kalian dengan
tanah itu.” (Al-Maidah: 6)
6.
Muntah bukan najis dan tidak membatalkan wudhu.
Syaikh Ibnu Utsaimin
ditanya tentang muntah, apakah ia najis dan membatalkan wudhu?
Syaikh menjawab, “Yang
benar, muntah itu tidak membatalkan wudhu, dan segala hal yang keluar dari
badan manusia tidak membatalkan wudhu, kecuali dari dua jalan: kemaluan dan
dubur. Karena memang dalil tidak ada. Lalu apakah muntah itu najis? Menurut
jumhur, muntah adalah najis. Tetapi kami tidak mendapatkan satu dalil pun yang
mendukung pendapat ini. Kalau begitu, pada dasarnya muntah adalah suci hingga
ada dalil yang menunjukkan bahwa ia adalah najis. Muntah ini tidak bisa
diqiyaskan kepada kencing atau kotoran, karena ada perbedaan hakekat antara
keduanya jika dilihat dari segi kotor, bau dan kebusukannya. Maka kentut yang
keluar dari dubur (anus) membatalkan wudhu, sedangkan sendawa tidak membatalkan
wudhu, sekalipunkedua-duanya berupa angin yang keluar dari perut. Jadi apa yang
ada di dalam perut bukanlah kotoran. Sebab kalau tidak, tidak ada perbedaan
antara keduanya. Memang tidak diragukan, jika harus berhati-hati dengan
menghindarinya atau mencuci pakaian atau badan yang terkena muntah.”
BAB III
PENUTUP
3.1.KESIMPULAN
Kebersihan
yang sempurna menurut syara’ disebut thaharah, merupakan masalah yang sangat
penting dalam beragama dan menjadi pangkal dalam beribadah yang menghantarkan
manusia berhubungan dengan Allah SWT. Tidak ada cara bersuci yang lebih baik
dari pada cara yang dilakukan oleh syarit Islam, karena syariat Islam
menganjurkan manusia mandi dan berwudlu. Walaupun manusia masih dalam keadaan
bersih, tapi ketika hendak melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah lainnya yang mengharuskan
berwudlu, begitu juga dia harus pula membuang kotoran pada diri dan tempat
ibadahnya dan mensucikannya karena kotoran itu sangat menjijikkan bagi manusia
Hikmah
thaharah :
1. Thaharah
termasuk tuntutan fitrah.
2. Memelihara
kehormatan dan harga diri orang Islam.
3. Memelihara
kesehatan.
4. Menghadap
Allah dalam keadaan suci dan bersih.
5. Thaharah
berfungsi menghilangkan hadas dan najis juga berfungsi sebagai penghapus dosa
kecil dan berhikmah membersihkan kotoran indrawi.
3.2.SARAN
1.
Dari beberapa penjelasan diatas ada saran
yang ingin kami sampaikan, sebagai generasi islam yang turut menyumbang dalam
pembangunan bangsa, sebaiknya kita memperhatikan dengan seksama masalah
thaharah, karena karena itu kita dituntut untuk memahaminya agar praktik ibadah
kita benar menurut ajaran syar’i.
2.
Dari pengertian thaharah tersebut, penulis
simpulkan bahwa thaharah tidak hanya terbatas masalah lahiriyah, yaitu
membersihkan hadats dan nasjis, namun thaharah memiliki arti yang lebih luas,
yaitu menjaga kesucian rohani (batiniah) agar tidak terjerumus pada perbuatan
dosa dan maksiat.
3.
Seorang muslim diperintahkan menjaga
pakaiannya agar suci dan bersih dari segala macam najis dan kotoran, karena
kebersihan itu membawa keselamatan dan kesenangan. Apabila kita berpakaian
bersih, terjauhlah kita dari penyakit dan memberi kesenangan bagi si pemakai
dan orang lain yang melihatnya.
Daftar
pustaka
https://fadhlihsan.wordpress.com/2010/06/16/thaharah-dan-shalat-bagi-orang-yang-sakit/
No comments:
Post a Comment