Wednesday 1 July 2015

Makalah : Ijtihad

KATA PENGANTAR


Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Agama, adapun tema makalah ini Ijtihad.
Dalam membuat makalah ini,dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang penulis miliki,penulis berusaha mencari sumber data dari berbagai sumber informasi,terutama Kegiatan penyusunan makalah ini memberikan penulis tambahan ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan Kita.
Penulis ucapkan terima kasih kepada  Agama Ibu ZAHRIYANTI,SPd.I.M.A sebagai pengajar mata kuliah Agama yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
                                                                                                                                                      
                
                                                                                             Matamgglumpang dua,April 2015

                                                                                                           Penulis




BAB I

PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang


Mengingat pentingnya dalam syari’at Islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Assunah, secara komprehensif karena memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud” bersungguh-sungguh dalam berdo’a.
Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu sendiri adalah Al-Qur’an dan Assunah.
Maka dari itu karena banyak persoalan di atas, kita sebagai umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.

1.2.Rumusan Masalah


1.      Apakah pengertian ijtihad?
2.      Sebut dan jelaskan kedudukan ijtihad ?
3.      Sebutkan contoh ijtihad yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW?
4.      Apa saja metode ijtihad?





BAB II

PEMBAHASAN


2.1.Pengertian Ijtihad


Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah,  ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Oleh  Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad

2.2.Kedudukan Ijtihad


Kedudukan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam atau sumber  hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya Al-Quran!”
“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”

Dari kedua keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Persoalannya sekarang, siapa yang berhak melakukan Ijtihad?
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga  berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan.



2.3.Metode Ijtihad


Berdasarkan berbagai sumber, ada beberapa macam ijtihad yang patut diketahui. Beberapa macam ijtihad yang dimaksud antara lain :
·         Ijma
Ijma adalah salah satu jenis ijtihad yang dilakukan para ulama dengan cara berunding, berdiskusi, lalu akhirnya muncul suatu kesepakatan untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Keputusan bersama ini tentu saja tidak begitu saja dilakukan, semua harus bersumber pada Al-Quran dan juga hadits. Hasil dari ijtihad ini sering kita sebut sebagai fatwa, dan fatwa inilah yang sebaiknya diikuti oleh umat Islam. Kesepatan dari para ulama ini tentu saja merupakan hasil akhir dari berbagai diskusi yang telah dilakukan, sehingga semestinya tidak mengandung pertentangan lagi.
·         Qiyas
Salah satu macam ijtihad adalah Qiyas, yaitu upaya mencari solusi permasalahan dengan cara mencari persamaan antara masalah yang sedang dihadapi dengan yang ada di dalam sumber agama (Al-Quran dan hadits).
Bila masalah yang sedang dihadapi dianggap mirip dengan yang ada di dalam kitab suci maupun hadits, maka para ulama akan menggunakan hukum yang ada di dalam sumber agama tersebut untuk menyelesaikan masalah. Namun tidak mudah pula mencari kemiripan satu masalah yang terjadi jaman sekarang dengan yang terjadi pada masa lalu. Di sinilah sebenarnya kenapa seorang mujtahid atau yang melakukan ijtihad diperlukan memiliki keluasan pengetahuan tentang agama dan masalah-masalah lain yang terkait dengannya.
·         Istihsan
Istihsan adalah salah satu macam ijtihad yang dilakukan oleh pemuka agama untuk mencegah terjadinya kemudharatan. Ijitihad ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu argumen beserta fakta yang mendukung tentang suatu permasalahan dan kemudian ia menetapkan hukum dari permasalahan tersebut. Dalam penetapan hukum ini bisa jadi pada akhirnya akan memunculkan pertentangan dari yang tidak sepaham.

·         Istishab
Upaya untuk menyelesaikan suatu masalah yang dilakukan para pemuka agama dengan cara menetapkan hukum dari masalah tersebut. Namun, bila suatu hari nanti ada alasan yang sangat kuat untuk mengubah ketetapan tersebut, maka hukum yang semula ditetapkan bisa diganti, asalkan semuanya masih dalam koridor agama Islam yang benar.

·         Maslahah murshalah
Salah satu dari macam ijtihad yang juga dilakukan untuk kepentingan umat adalah maslahah murshalah. Jenis ijtihad ini dilakukan dengan cara memutuskan permasalahan melalui berbagai pertimbangan yang menyangkut kepentingan umat. Hal yang paling penting adalah menghindari hal negatif dan berbuat baik penuh manfaat.

·         Urf
Ijtihad ini dilakukan untuk mencari solusi atas permasalahan yang berhubungan dengan adat istiadat. Dalam kehidupan masyarakat, adat istiadat memang tak bisa dilepaskan dan sudah melekat dengan masyarakat kita.
Ijtihad inilah yang menetapkan apakah adat tersebut boleh dilakukan atau tidak. Apabila masih dalam koridor agama Islam, maka boleh dilaksanakan. Namun bila tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka harus ditinggalkan

2.4.Contoh Ijtihad


1.CONTOH IJTIHAD YANG PERNAH DILAKUKAN OLEH UMAR BIN KHATTAB
suatu peristiwa di zaman Khalifah Umar ibn Khattab, di mana para pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah berapa besar cukai yang harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di negara Khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci dalam Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar ibn Khattab selanjutnya berijtihad dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah disamakan dengan taraf yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim oleh negara asing, di mana mereka berdagang


2.Penentuan 1 Syawal
Salah satu contoh ijtihad yang sering dilakukan untuk saat ini adalah tentang penentuan I Syawal, disini para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argumen masing-masing untuk menentukan 1 Syawal, juga penentuan awal Ramadhan. Masing-masing ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya, bila telah ketemu kesepakatan ditentukanlah 1 Syawal itu.
 3.Bayi Tabung
Contoh lain adalah tentang bayi tabung, pada zamannya Rasulullah bayi tabung belum ada. Akhir akhir ini bayi tabung dijadikan solusi oleh orang yang memiliki masalah dengan kesuburan jadi dengan cara ini berharap dapat memenuhi pemecahan masalah agar dapat memperoleh keturunan.
            Para ulama telah merujuk kepada hadist-hadist agar dapat menemukan hukum yang telah dihasilkan oleh teknologi ini dan menurut MUI menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh) karena hal ini merupakan Ikhtiar yang berdasarkan agama. Allah sendiri mengajarkan kepada manusia untuk selalu berusaha dan berdoa.
            Sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari suami isteri yang menitipkan ke rahim perempuan lain, jika ada yang demikian maka hal ini memiliki hukum haram. Alasannya karena akan menimbulkan masalah yang rumit dikemudian hari terutama soal warisan.
            Dalam Islam anak yang berhak mendapat warisan adalah anak kandung, jika demikian bagaimana status hubungan anak dari hasil titipan tersebut? Dikandung tapi bukan milik sendiri, jadi hanya sekedar pinjam tempatnya saja, tentu hal ini membuat rumit.
4.Ijtihad Telah Dilakukan Sepeninggal Rasulullah saw

            Ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat sepeninggalnya Rasulullah dan diikuti ulama ulama hingga saat ini. Sebagai contoh Abu Bakar as Siddiq, beliau apabila menemui perselisihan maka hal pertama yang dilakukan adalah merujuk kepada Al Qur’an.
Jika tidak ditemukan maka ia menggunakan hadist nabi, namun bila tidak ditemukan atau ragu dengan hukum yang didapat maka beliau mengumpulkan para sahabat untuk melakukan musyawarah.

            Bila musyawarah telah dicapai mufakat beliau pun sepakat dengan pendapat yang dihasilkan dan memutuskan hukum sesuatu yang dipermasalahkan serta mengikutinya. Orang orang yang berijtihad ini disebut mujtahid

2.5.Macam-Macam Ijtihad


Dr. Ad-Duwalibi, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Wahbah (h. 594) membagi macam ijtihad kepada tiga macam (sebagian diantaranya juga ditunjuk oleh Asy-Syathibi di dalam (al-muwafaqotnya):
1.Al-Ijtihadul Bayaniy yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum Syar’iyahdari nash-nash syari’ (yang memberi syari’at yang menentukan syari’at).Ijtihad bayani merupakan metode ijtihad yang lebih menitikberatkan kepada kajian kebahasaan. Ijtihad bayani  adalah pengetahuan kemampuan untuk sampai kepada hukum yang dimaksud oleh nash dan zhanni tsubut atau dalalahnya, atau zhanni kedua-duanya. Inilah yang menjadi ruang lingkup ijtihad, yaitu batas-batas yang diberi toleransi untuk memahami nash dan mentarjih atau mengutamakan beberapa maksudnya, atau mengetahui sasaran nash dan jalurnya. Pengistilahan ijtihad bayani, karena berkaitan dengan penjelasan terhadap nash, yaitu pembatasan terhadap ruang lingkup nash, hal-hal apa saja yang menjadi ruang lingkup tersebut menurut pembuat syara’. Ijtihad model ini disepakati oleh seluruh ulama.
2.Al-Ijtihadul Qiyasiy yaitu meletakan (wadI’an) hukum-hukum syar’iyahuntuk kejadian-kejadian/peristwa-peristiwa yang tidak terdapat di dalam al-kitab dan as-sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat di dalam nash-nash hukum syar’i. Menurut Muhammad Salam Madkur, ijtihad qiyasi adalah sebuah ijtihad dimana seorang ahli fiqih mengerahkan kemampuannya untuk sampai kepada hukum yang tidak dijelaskan oleh nash qathi’ maupun zhanni, juga tidak diperkuat ijma’.Ahli fiqih tersebut akan sampai kepada hukum dengan memperhatikan indikator-indikator (imarah-imarah) dan jalan-jalan (wasilah-waslah) hukum yang telah ada. 


3. Al-Ijtihadul Ishthishlahiy, inipun juga meletakan (wadI’an) hukum-hukum syar’iyah, untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang untuk itu tidak terdapat di dalam al-kitab dan as-sunnah, dengan mempergunakanar-ro’yu yang disandarkan atas ishtishlah. Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hokum syara’ (Islam) dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), taitu mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut, dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.[18]
Dalam buku Pengantar Ilmu Fiqh karangan T.M.H Ash-Shiddiqiey, macam-macam ijtihad adalah:
a.       Dengan segala kemampuan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni tsubutnya, atau dhanni dalalahnya. Dalam hal ini kita berijtihad dalam batas memahami nash dan mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad dan jalannya sampai kepada kita.
b.      Dengan segala kesungguhan berupaya memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada nash qath’i, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’ seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad birra’yi.
c.       Dengan segala kesungguhan berupaya memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliah. Ijtihad ini berlaku dalam  bidang yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash yang kulliah, taka adanya suatu nash tertentu, tak ada pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan.
Hal ini sebenarnya untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’




 


2.6.Hukum Ijtihad dan Eksistensi Mujtahid Sepanjang Massa


Dalam buku ushul fiqih Zen Amiruddin ada tiga kriteria hukum berijtihad, yaitu:
a.         Wajib ain yakni apabila seseorang yang di tanya prihal hukum suatu peristiwa, sedangkan peristiwa itu akan hilang sebelum di tetapkan hukumnya. Demikian pula seseorang yang segera ingin mendapatkan kepastian hukum untuk dirinya sendiri dan tidah ada mujtahid yang bisa segera di temui untuk mendapatkan fatwa perihal hukumnya.
b.         Wajib kifayah yakni bagi seseorang yang di tanya tentang  sesuatu pristiwa hukum, dan tidak di khawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara di samping dirinya masik ada mujtahid lain yang lebih ahli.
c.         Sunnah yakni berijtihad terhadap suatu peristiwa hukum yang belum terjadi  baik di tanyakan ataupun tidak ada yang mempertanyakan.
d.        Haram yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama, berijtihad terhadap permasalahan yang sudah tegas (qath’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma. Kedua, berijtihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.

Ulama-ulama Hanbaliyah menetapkan bahwa tak ada masa yang kosong dari mujtahid, karena kejadian-kejadian itu terus menerus terjadi. Kebutuhan mengetahui hukum Allah, tetap ada pada setiap zaman. Perlu ditegaskan bahwa ahli agama khilaf tentang ada tidaknya, mengenai mujtahid mutlak. Mengenai mujtahid yang menetapkan hukum, tak ada perselisihan.
Eksistensi mujtahid sepanjang masa dari masa Rasulullah saw sampai sekarang tidak bisa diragukan lagi. Dahulu ketika muslimin yang hidup di masa Rasulullah saw mau tidak mau berbeda dengan yang dihadapi generasi berikutnya dengan terjadinya kontak dan saling pengaruh mempengaruhi antara Islam dan budaya-budaya lain yang bertetangga dengannya. Sewaktu Rasulullah masih hidup, tak terdapat ilmu macam yurisprudensi. Rasulullah tidak menggolong-golongkan perintah ke dalam wajib, mandub (dianjurkan), haram, makruh, dan mubah sebagaimana dikemukakan dalam teori hukum yang muncul kemudian. Menurut para ahli hukum, setiap tindakan harus masuk ke dalam salah satu dari kelima kategori tersebut. Akan tetapi tidaklah demikian halnya dengan para sahabat ketika Rasulullah masih hidup. Satu-satnya ideal bagi mereka hanyalah perilaku Rasulullah.

Tidak disangsikan lagi bahwa kadang-kadang para sahabat mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada beliau, yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang serius. Pada masa Rasulullah adalah mungkin bagi dua orang untuk mengambil tindakan  yang berbeda dalam satu situasi yang sama.
Setelah Nabi wafat barulah ijtihad diperlukan oleh ulama mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang timbul dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-qur’an. Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat tersebar di berbagai pelosok dunia Islam. Umumnya mereka menduduki posisi kepemimpinan keagamaan dan intelektual. Mereka menjadi tempat bertanya orang-orang di daerahnya untuk dimintai keputusan berkaitan dengan berbagai persoalan.
 Mereka memberikan keputusan kadang-kadang berdasarkan apa yang pernah mereka pelajari dan ingat dari perintah-perintah Rasulullah, dan lain waktu menurut apa yang mereka pahami dari Al-qur’an dan Sunnah.
Permasalahan yang timbul sekarang ini sangat kompleks dan jawabannya tidak terdapat dalam Al-qur’’an maupun hadis. Jika tidak ada usaha yang sungguh-sungguh dari orang yang pantas berijtihad , maka akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan hukum. Oleh karena itu, ijtihad untuk sekarang ini merupakan hal yang dharury (mendesak) untuk dilakukan, karena begitu banyak kasus permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan jawaban dari hukum Islam









BAB III

PENUTUP


3.1.Kesimpulan


Problema hukum yang dihadapi umat Islam semakin beragam, seiring dengan berkembang dan meluasnya agama Islam, dan berbagai macam bangsa yang masuk Islam  dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan.
Sementara itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus  berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (al-wahy qad intaha wal al-waqa’i la yantahi). Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash itu.

Dengan demikian ijtihad menjadi sangat penting sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan al-Sunnah dalam memecahkan berbagai problematika masa kini.

3.2.Saran


Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap kepada pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.






DAFTAR PUSTAKA


Abdulloah, Amin.1997Falsafat Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Saifuddin Anshari, Endang.1978.Kuliah Al-Islam. Bandung;Pustaka Bandung.
Razak, Nasrudin. 1989.Dienul Islam, Maarif Bandung.
Al-Ghazali, Zainab. 1995.Menuju Kebangkitan Baru, Gema Insani Press Jakarta.
Hadikukusam,Djarnaw. 1985.ijtihad,dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor), Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam, PLP2M Yogyakarta.
Atang Abd. Hakim, dan Jaih Mubarok, 2000, Metodologi Studi Islam,   Bandung : PT Remaja Pesdakarya,
https://lzaieda.wordpress.com/2014/09/28/makalah-ijtihad-sebagai-sumber-ajaran-islam/


No comments:

Post a Comment

Makalah : Sistem Pedidikan Nasional