KATA PENGANTAR
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Agama, adapun tema makalah ini Ijtihad.
Dalam membuat makalah ini,dengan keterbatasan ilmu
pengetahuan yang penulis miliki,penulis berusaha mencari sumber data dari
berbagai sumber informasi,terutama Kegiatan penyusunan makalah ini memberikan
penulis tambahan ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan
Kita.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Agama Ibu
ZAHRIYANTI,SPd.I.M.A
sebagai pengajar mata kuliah Agama yang telah membimbing kami dalam penyusunan
makalah ini.
Matamgglumpang
dua,April 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Mengingat pentingnya dalam syari’at
Islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Assunah, secara komprehensif karena
memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta
berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan
penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak
ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat
penting. Kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud”
bersungguh-sungguh dalam berdo’a.
Dan ijtihad tidak membatasi bidang
fikih saja dan banyak para pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan qiyas.
Adapun dasar hukum itu sendiri adalah Al-Qur’an dan Assunah.
Maka dari itu karena banyak
persoalan di atas, kita sebagai umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut
itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian ijtihad?
2.
Sebut
dan jelaskan kedudukan ijtihad ?
3.
Sebutkan
contoh ijtihad yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW?
4.
Apa
saja metode ijtihad?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan
pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam
Al-Quran dan As-Sunnah.
Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh
dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan, menurut istilah, ijtihad adalah
mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk
menetapkan suatu hukum. Oleh Secara terminologis, berijtihad berarti
mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.
Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan
hadis, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hukum
Islam. Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad
ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. ijtihad tidak bisa dilakukan oleh
setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad
2.2.Kedudukan Ijtihad
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam atau sumber
hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh
sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya
jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai
Gubernur Yaman.
“Bagaimana memutuskan perkara yang
dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan memutuskan menurut
Kitabullah (Al-Quran.”
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda
tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika begitu, hamba akan
memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak menemukan
sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan mempergunakan
pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang
sedikit pun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah
menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang
terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu
terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya
Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu
punya Al-Quran!”
“Ya
Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk
tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat,
petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah,
siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah
seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi
Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang
tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami
lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah
telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat
setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah
keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke
jalan yang lurus!”
Dari kedua keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ijtihad
adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara
tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Persoalannya sekarang, siapa yang
berhak melakukan Ijtihad?
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad,
sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak
baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya, Mujtahid adalah
para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil
Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara
bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau
kesepakatan.
2.3.Metode Ijtihad
Berdasarkan berbagai sumber, ada beberapa macam
ijtihad yang patut diketahui. Beberapa macam ijtihad yang dimaksud antara lain
:
·
Ijma
Ijma adalah salah satu jenis ijtihad yang dilakukan para ulama dengan cara berunding, berdiskusi, lalu akhirnya muncul suatu kesepakatan untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Ijma adalah salah satu jenis ijtihad yang dilakukan para ulama dengan cara berunding, berdiskusi, lalu akhirnya muncul suatu kesepakatan untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Keputusan bersama ini tentu saja
tidak begitu saja dilakukan, semua harus bersumber pada Al-Quran dan juga
hadits. Hasil dari ijtihad ini sering kita sebut sebagai fatwa, dan fatwa
inilah yang sebaiknya diikuti oleh umat Islam. Kesepatan dari para ulama ini
tentu saja merupakan hasil akhir dari berbagai diskusi yang telah dilakukan,
sehingga semestinya tidak mengandung pertentangan lagi.
·
Qiyas
Salah satu macam ijtihad adalah Qiyas, yaitu upaya mencari solusi permasalahan dengan cara mencari persamaan antara masalah yang sedang dihadapi dengan yang ada di dalam sumber agama (Al-Quran dan hadits).
Salah satu macam ijtihad adalah Qiyas, yaitu upaya mencari solusi permasalahan dengan cara mencari persamaan antara masalah yang sedang dihadapi dengan yang ada di dalam sumber agama (Al-Quran dan hadits).
Bila masalah yang sedang dihadapi
dianggap mirip dengan yang ada di dalam kitab suci maupun hadits, maka para
ulama akan menggunakan hukum yang ada di dalam sumber agama tersebut untuk
menyelesaikan masalah. Namun tidak mudah pula mencari kemiripan satu masalah
yang terjadi jaman sekarang dengan yang terjadi pada masa lalu. Di sinilah
sebenarnya kenapa seorang mujtahid atau yang melakukan ijtihad diperlukan
memiliki keluasan pengetahuan tentang agama dan masalah-masalah lain yang
terkait dengannya.
·
Istihsan
Istihsan adalah salah satu macam ijtihad yang dilakukan oleh pemuka agama untuk mencegah terjadinya kemudharatan. Ijitihad ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu argumen beserta fakta yang mendukung tentang suatu permasalahan dan kemudian ia menetapkan hukum dari permasalahan tersebut. Dalam penetapan hukum ini bisa jadi pada akhirnya akan memunculkan pertentangan dari yang tidak sepaham.
Istihsan adalah salah satu macam ijtihad yang dilakukan oleh pemuka agama untuk mencegah terjadinya kemudharatan. Ijitihad ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu argumen beserta fakta yang mendukung tentang suatu permasalahan dan kemudian ia menetapkan hukum dari permasalahan tersebut. Dalam penetapan hukum ini bisa jadi pada akhirnya akan memunculkan pertentangan dari yang tidak sepaham.
·
Istishab
Upaya untuk menyelesaikan suatu masalah yang dilakukan para pemuka agama dengan cara menetapkan hukum dari masalah tersebut. Namun, bila suatu hari nanti ada alasan yang sangat kuat untuk mengubah ketetapan tersebut, maka hukum yang semula ditetapkan bisa diganti, asalkan semuanya masih dalam koridor agama Islam yang benar.
Upaya untuk menyelesaikan suatu masalah yang dilakukan para pemuka agama dengan cara menetapkan hukum dari masalah tersebut. Namun, bila suatu hari nanti ada alasan yang sangat kuat untuk mengubah ketetapan tersebut, maka hukum yang semula ditetapkan bisa diganti, asalkan semuanya masih dalam koridor agama Islam yang benar.
·
Maslahah
murshalah
Salah satu dari macam ijtihad yang juga dilakukan untuk
kepentingan umat adalah maslahah murshalah.
Jenis ijtihad ini dilakukan dengan cara memutuskan permasalahan melalui
berbagai pertimbangan yang menyangkut kepentingan umat. Hal yang paling penting
adalah menghindari hal negatif dan berbuat baik penuh manfaat.
·
Urf
Ijtihad ini dilakukan untuk mencari solusi atas permasalahan yang berhubungan dengan adat istiadat. Dalam kehidupan masyarakat, adat istiadat memang tak bisa dilepaskan dan sudah melekat dengan masyarakat kita.
Ijtihad ini dilakukan untuk mencari solusi atas permasalahan yang berhubungan dengan adat istiadat. Dalam kehidupan masyarakat, adat istiadat memang tak bisa dilepaskan dan sudah melekat dengan masyarakat kita.
Ijtihad inilah yang menetapkan
apakah adat tersebut boleh dilakukan atau tidak. Apabila masih dalam koridor
agama Islam, maka boleh dilaksanakan. Namun bila tidak sesuai dengan ajaran
Islam, maka harus ditinggalkan
2.4.Contoh Ijtihad
1.CONTOH IJTIHAD YANG PERNAH DILAKUKAN OLEH UMAR BIN KHATTAB
suatu peristiwa di zaman Khalifah
Umar ibn Khattab, di mana para pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah berapa
besar cukai yang harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di
negara Khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci
dalam Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar ibn Khattab selanjutnya
berijtihad dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah
disamakan dengan taraf yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim oleh
negara asing, di mana mereka berdagang
2.Penentuan 1 Syawal
Salah satu
contoh ijtihad yang sering dilakukan untuk saat ini adalah tentang penentuan I
Syawal, disini para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argumen
masing-masing untuk menentukan 1 Syawal, juga penentuan awal Ramadhan.
Masing-masing ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya, bila
telah ketemu kesepakatan ditentukanlah 1 Syawal itu.
3.Bayi Tabung
Contoh
lain adalah tentang bayi tabung, pada zamannya Rasulullah bayi tabung belum
ada. Akhir akhir ini bayi tabung dijadikan solusi oleh orang yang memiliki
masalah dengan kesuburan jadi dengan cara ini berharap dapat memenuhi pemecahan
masalah agar dapat memperoleh keturunan.
Para ulama telah merujuk kepada hadist-hadist agar dapat
menemukan hukum yang telah dihasilkan oleh teknologi ini dan menurut MUI
menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan ovum suami isteri yang sah
hukumnya mubah (boleh) karena hal ini merupakan Ikhtiar yang berdasarkan agama.
Allah sendiri mengajarkan kepada manusia untuk selalu berusaha dan berdoa.
Sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi
tabung dari suami isteri yang menitipkan ke rahim perempuan lain, jika ada yang
demikian maka hal ini memiliki hukum haram. Alasannya karena akan menimbulkan
masalah yang rumit dikemudian hari terutama soal warisan.
Dalam Islam anak yang berhak mendapat warisan adalah anak
kandung, jika demikian bagaimana status hubungan anak dari hasil titipan
tersebut? Dikandung tapi bukan milik sendiri, jadi hanya sekedar pinjam
tempatnya saja, tentu hal ini membuat rumit.
4.Ijtihad
Telah Dilakukan Sepeninggal Rasulullah saw
Ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat sepeninggalnya Rasulullah dan diikuti ulama ulama hingga saat ini. Sebagai contoh Abu Bakar as Siddiq, beliau apabila menemui perselisihan maka hal pertama yang dilakukan adalah merujuk kepada Al Qur’an.
Jika tidak ditemukan maka ia menggunakan hadist nabi, namun
bila tidak ditemukan atau ragu dengan hukum yang didapat maka beliau
mengumpulkan para sahabat untuk melakukan musyawarah.
Bila musyawarah telah dicapai mufakat beliau pun sepakat dengan pendapat yang dihasilkan dan memutuskan hukum sesuatu yang dipermasalahkan serta mengikutinya. Orang orang yang berijtihad ini disebut mujtahid
2.5.Macam-Macam Ijtihad
Dr.
Ad-Duwalibi, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Wahbah (h. 594) membagi macam
ijtihad kepada tiga macam (sebagian diantaranya juga ditunjuk oleh Asy-Syathibi
di dalam (al-muwafaqotnya):
1.Al-Ijtihadul Bayaniy yaitu
menjelaskan (bayan) hukum-hukum Syar’iyahdari
nash-nash syari’ (yang memberi syari’at yang menentukan
syari’at).Ijtihad
bayani merupakan metode ijtihad yang lebih menitikberatkan kepada kajian
kebahasaan. Ijtihad bayani adalah pengetahuan kemampuan untuk sampai
kepada hukum yang dimaksud oleh nash dan zhanni tsubut atau dalalahnya, atau
zhanni kedua-duanya. Inilah yang menjadi ruang lingkup ijtihad, yaitu
batas-batas yang diberi toleransi untuk memahami nash dan mentarjih atau
mengutamakan beberapa maksudnya, atau mengetahui sasaran nash dan jalurnya.
Pengistilahan ijtihad bayani, karena berkaitan dengan penjelasan terhadap nash,
yaitu pembatasan terhadap ruang lingkup nash, hal-hal apa saja yang menjadi
ruang lingkup tersebut menurut pembuat syara’. Ijtihad model ini disepakati
oleh seluruh ulama.
2.Al-Ijtihadul Qiyasiy yaitu
meletakan (wadI’an) hukum-hukum syar’iyahuntuk
kejadian-kejadian/peristwa-peristiwa yang tidak terdapat di dalam al-kitab dan
as-sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat di dalam
nash-nash hukum syar’i. Menurut Muhammad Salam Madkur, ijtihad
qiyasi adalah sebuah ijtihad dimana seorang ahli fiqih mengerahkan kemampuannya
untuk sampai kepada hukum yang tidak dijelaskan oleh nash qathi’ maupun zhanni,
juga tidak diperkuat ijma’.Ahli
fiqih tersebut akan sampai kepada hukum dengan memperhatikan
indikator-indikator (imarah-imarah) dan jalan-jalan (wasilah-waslah) hukum yang
telah ada.
3. Al-Ijtihadul Ishthishlahiy,
inipun juga meletakan (wadI’an) hukum-hukum syar’iyah, untuk
peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang untuk itu tidak terdapat di dalam
al-kitab dan as-sunnah, dengan mempergunakanar-ro’yu yang
disandarkan atas ishtishlah. Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad
Istishlahi adalah pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hokum syara’
(Islam) dengan menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), taitu
mengenai masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut,
dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma’ terhadap masalah itu. Selain itu, tidak mungkin pula
diterapkan metode qiyas atau metode istihsan terhadap masalah itu. Ijtihad ini,
pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb al-mashlahah wa daf’ al-mafsadah
(menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang
telah ditetapkan untuk kaidah-kaidah syara’.[18]
Dalam buku Pengantar Ilmu Fiqh
karangan T.M.H Ash-Shiddiqiey, macam-macam ijtihad adalah:
a. Dengan segala
kemampuan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni
tsubutnya, atau dhanni dalalahnya. Dalam hal ini kita
berijtihad dalam batas memahami nash dan mentarjihkan sebagian atas yang lain,
seperti mengetahui sanad dan jalannya sampai kepada kita.
b. Dengan segala
kesungguhan berupaya memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada nash qath’i,
nash dhanni dan tidak ada
pula ijma’. Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada
tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’ seperti qiyas dan
istihsan. Inilah yang disebut ijtihad birra’yi.
c. Dengan segala kesungguhan
berupaya memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan menerapkan
kaidah-kaidah kulliah. Ijtihad ini berlaku dalam bidang
yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash yang kulliah, taka adanya suatu
nash tertentu, tak ada pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas
atau istihsan.
Hal ini
sebenarnya untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, sesuai
dengan kaidah-kaidah syara’
2.6.Hukum Ijtihad dan Eksistensi Mujtahid Sepanjang Massa
Dalam buku
ushul fiqih Zen Amiruddin ada tiga kriteria hukum berijtihad, yaitu:
a.
Wajib ain yakni
apabila seseorang yang di tanya prihal hukum suatu peristiwa, sedangkan
peristiwa itu akan hilang sebelum di tetapkan hukumnya. Demikian pula seseorang
yang segera ingin mendapatkan kepastian hukum untuk dirinya sendiri dan tidah
ada mujtahid yang bisa segera di temui untuk mendapatkan fatwa perihal
hukumnya.
b.
Wajib kifayah yakni
bagi seseorang yang di tanya tentang sesuatu pristiwa hukum, dan
tidak di khawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara di samping
dirinya masik ada mujtahid lain yang lebih ahli.
c.
Sunnah yakni
berijtihad terhadap suatu peristiwa hukum yang belum terjadi baik di
tanyakan ataupun tidak ada yang mempertanyakan.
d.
Haram yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama,
berijtihad terhadap permasalahan yang sudah tegas (qath’i) hukumnya baik berupa
ayat atau hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma. Kedua, berijtihad bagi
seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya
tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang
agama Allah tanpa ilmu hukumnya haram.
Ulama-ulama
Hanbaliyah menetapkan bahwa tak ada masa yang kosong dari mujtahid, karena
kejadian-kejadian itu terus menerus terjadi. Kebutuhan mengetahui hukum Allah,
tetap ada pada setiap zaman. Perlu ditegaskan bahwa ahli agama khilaf tentang
ada tidaknya, mengenai mujtahid mutlak. Mengenai mujtahid yang menetapkan
hukum, tak ada perselisihan.
Eksistensi mujtahid sepanjang masa dari masa
Rasulullah saw sampai sekarang tidak bisa diragukan lagi. Dahulu ketika
muslimin yang hidup di masa Rasulullah saw mau tidak mau berbeda dengan yang
dihadapi generasi berikutnya dengan terjadinya kontak dan saling pengaruh
mempengaruhi antara Islam dan budaya-budaya lain yang bertetangga dengannya.
Sewaktu Rasulullah masih hidup, tak terdapat ilmu macam yurisprudensi.
Rasulullah tidak menggolong-golongkan perintah ke dalam wajib, mandub
(dianjurkan), haram, makruh, dan mubah sebagaimana dikemukakan dalam
teori hukum yang muncul kemudian. Menurut para ahli hukum, setiap tindakan
harus masuk ke dalam salah satu dari kelima kategori tersebut. Akan tetapi
tidaklah demikian halnya dengan para sahabat ketika Rasulullah masih hidup.
Satu-satnya ideal bagi mereka hanyalah perilaku Rasulullah.
Tidak disangsikan lagi bahwa
kadang-kadang para sahabat mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada beliau, yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan yang serius. Pada masa Rasulullah adalah
mungkin bagi dua orang untuk mengambil tindakan yang berbeda dalam
satu situasi yang sama.
Setelah Nabi wafat barulah ijtihad
diperlukan oleh ulama mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang
timbul dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Al-qur’an. Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat tersebar di berbagai
pelosok dunia Islam. Umumnya mereka menduduki posisi kepemimpinan keagamaan dan
intelektual. Mereka menjadi tempat bertanya orang-orang di daerahnya untuk
dimintai keputusan berkaitan dengan berbagai persoalan.
Mereka memberikan
keputusan kadang-kadang berdasarkan apa yang pernah mereka pelajari dan ingat
dari perintah-perintah Rasulullah, dan lain waktu menurut apa yang mereka
pahami dari Al-qur’an dan Sunnah.
Permasalahan yang timbul sekarang
ini sangat kompleks dan jawabannya tidak terdapat dalam Al-qur’’an maupun
hadis. Jika tidak ada usaha yang sungguh-sungguh dari orang yang pantas
berijtihad , maka akan terjadi kekosongan hukum. Hal ini tidak sejalan dengan
tujuan hukum. Oleh karena itu, ijtihad untuk sekarang ini merupakan hal
yang dharury (mendesak) untuk dilakukan, karena begitu banyak
kasus permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan
jawaban dari hukum Islam
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Problema hukum yang dihadapi umat
Islam semakin beragam, seiring dengan berkembang dan meluasnya agama Islam, dan
berbagai macam bangsa yang masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat
istiadat, tradisi dan sistem kemasyarakatan.
Sementara itu, nash Al-Qur’an dan
Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah
peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (al-wahy
qad intaha wal al-waqa’i la yantahi). Oleh karena itu, diperlukan
usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak
ditunjukkan secara tegas oleh nash itu.
Dengan demikian ijtihad menjadi
sangat penting sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan al-Sunnah
dalam memecahkan berbagai problematika masa kini.
3.2.Saran
Demikian makalah ini penulis susun, semoga dapat memberi
manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis berharap
kepada pembaca untuk bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penulis demi perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulloah, Amin.1997, Falsafat Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Saifuddin Anshari, Endang.1978.Kuliah Al-Islam. Bandung;Pustaka Bandung.
Razak, Nasrudin. 1989.Dienul Islam, Maarif
Bandung.
Al-Ghazali, Zainab. 1995.Menuju Kebangkitan Baru,
Gema Insani Press Jakarta.
Hadikukusam,Djarnaw. 1985.ijtihad,dalam
Amrullah Achmad dkk. (Editor), Persepektif Ketegangan Kreatif
dalam Islam, PLP2M Yogyakarta.
Atang Abd. Hakim, dan Jaih Mubarok, 2000, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja
Pesdakarya,
https://lzaieda.wordpress.com/2014/09/28/makalah-ijtihad-sebagai-sumber-ajaran-islam/
No comments:
Post a Comment